Kamis, 24 Mei 2012

Menyelamatkan Fayle Bersama Penyihir



Judul: Alice-Miranda Takes The Lead
Penulis: Jacqueline Harvey
Penerjemah: Reni Indardini
Penyunting: Herlina Sitorus
Cetakan: I, September 2011
Tebal: 284 halaman

Ini adalah buku ke 3 dari seri Alice-Miranda. Meskipun begitu, ceritanya tetap dapat dinikmati tanpa harus membaca buku sebelumnya.
Di buku ini diceritakan bahwa Winchesterfield Downsfordvale, sekolah asrama Alice-Miranda akan mengadakan pementasan drama. Para pemainnya diambil dari  murid-murid Winchesterfield Downsfordvale digabung dengan murid-murid dari sekolah asrama Fayle untuk Anak Laki-Laki. Supaya bisa menemukan pemeran yang tepat, murid-murid dipersilahkan untuk mengikuti audisi.
Di akhir acara pengumuman pementasan drama, muncul seorang murid baru bernama Sloane Sykes dan ibunya, September Sykes. Prilaku ibunya Sloane ini benar-benar menyebalkan. Di hari pertamanya saja, ia menggeledah lemari Jacinta, teman sekamar Sloane, untuk mengetahui barang-barang mewah apa saja yang dimiliki Jacinta yang merupakan putri seorang model ternama.
September memang sangat terobsesi menjadi orang kaya atau menjadi temannya orang kaya yang akan mengundangnya ke pesta-pesta orang kaya. Dia merasa beruntung anak-anaknya bisa sekolah di sekolah asrama bergengsi yang kebanyakan muridnya adalah anak orang kaya dan terkenal. Sloane bisa sekolah di sekolah asrama tersebut karena dibiayai oleh Henrietta, nenek tirinya.
Sloane punya kakak bernama Septimus yang dimasukkan ke sekolah asrama Fayle oleh nenek Henrietta juga. Berbeda dengan adik dan ibunya, Septimus mempunyai perangai yang baik. Di Fayle ia sekamar dengan Lucas, anak dari Lawrence Ridley seorang bintang film tampan yang sangat terkenal.  Lawrence  sendiri merupakan tunangan bibi Charlotte, adiknya Cecelia, ibunya Alice Miranda.
Cerita semakin menegangkan ketika Fayle hendak ditutup dan dijual oleh September Sykes. Kok bisa? Justru bagian inilah yang membuat buku ini semakin menarik untuk terus dibaca. Alice-Miranda sebagai anak yang istimewa tentu tidak bisa berdiam diri saja melihat kemungkinan Fayle akan ditutup. Ia bekerja sama dengan sahabtnya, Millie serta Jacinta, Septimus dan Lucas untuk menyelesaikan masalah ini.  Atas bantuan Hepzibah seorang wanita tua buruk rupa yang dianggap penyihir di hutan, mereka bisa menyelamatkan Fayle.
Dari beberapa sisi buku ini punyak banyak kelebihan. Gaya penceritaannya begitu sempurna. Enak dibaca. Penerjemaahan yang berkualitas tentu saja mampu menyampaikan pesan cerita hingga mendekati cerita aslinya. Meskipun begitu, secara isi cerita kadang-kadang kita merasa diherankan karena tokoh-tokohnya begitu menguasai seluruh peranan penting di sekolahnya. Teristimewa Alice-Miranda, sang tokoh utama, seakan-akan tidak punya kekurangan sama sekali.
Mulai dari seri pertama, Alice-Miranda memang digambarkan sebagai sosok anak yang berprilaku sempurna. Dalam kenyataannya, jangankan anak-anak, orang dewasa pun tidak mungkin bisa sempurna. Namun, ini adalah cerita. Just fiction. Sebagai tokoh utama yang tentu akan menjadi idola bagi pembacanya, bagus-bagus saja sebenarnya. Yang namanya contoh memang harus “perfect”. Sehingga buku ini betul-betul direkomendasikan untuk anak-anak tingkatan SD, meskipun cukup menarik untuk dibaca semua usia.  Pengarangnya, Jacqueline Harvey, yang merupakan guru di sekolah asrama untuk perempuan, salah satu yang menjadi alasan bahwa bacaan ini adalah bacaan yang aman buat anak-anak.

Kamis, 17 Mei 2012

SAYEMBARA MENANGKAP PENCURI SEPATU

 (Lomba Kisah Inspiratif  "Aku dan Sepatuku")

Oleh: Yas Marina

“Silakan masuk, Mr. Maki,” sambut Pak Dani, sang direktur kepada tamunya yang berkebangsaan Jepang. Mr. Maki, tamunya tersebut membungkukkan badannya tanda hormat yang langsung dibalas Pak Dani.
Tanpa Pak Dani sadari, ternyata Mr. Maki tidak memakai sepatu saat memasuki ruang kerjanya. Entah ya, mungkin kebiasaan Mr. Maki di negaranya seperti itu, yang pasti Mr. Maki meninggalkan sepasang sepatunya di depan pintu yang kemudian ditutupnya kembali.
Setelah Mr. Maki selesai dengan urusannya, ia pun keluar dari ruang kerja Pak Dani. Betapa kagetnya ia, karena sepatunya sudah tidak ada. Ia pun celingak-celinguk mencari sepatunya.
Melihat gelagat Mr. Maki, Pak Dani baru sadar bahwa tamunya itu tidak memakai sepatu.
“Kemana sepatu Anda, Mr. Maki?” tanya Pak Dani yang langsung merasa mendapat firasat tidak enak.
“Tadi saya meninggalkan sepatu saya di depan pintu. Sekarang tidak ada,” jelas Mr. Maki.
Wajah Pak Dani langsung merah padam. Ia malu sekali terhadap tamunya. Dengan gusar, buru-buru ia memerintahkan para karyawannya untuk mencari sepatu tamunya itu. Sementara sepatu sedang dicari, berulangkali Pak Dani membungkukkan badannya sambil meminta maaf.
Tapi apa mau dikata, sepatu Mr. Maki tetap tidak ditemukan.  Akhirnya Mr. Maki pulang dengan sepatu yang dibeli dadakan.  Pak Dani pun mengantar Mr. Maki sampai depan pintu mobil dengan ribuan kata maaf yang terucap dari bibirnya. Badannya berulangkali dibungkukkan, bahkan hingga mobil itu hilang dari pandangan mata.
Setelah yakin, mobil Mr. Maki tidak terlihat lagi, Pak Dani kembali ke ruang kantor dengan muka cemberut dan tetap cemberut sampai beberapa hari.  Tentu saja yang membuat kesal Pak Dani bukan karena ia harus mengganti sepatu tamunya.  Tapi ia merasa malu kenapa barang yang tak seberapa harganya itu sampai dicuri orang yang ada diperusahaannya. Ia juga marah karena khawatir masalah ini mengganggu hubungan kerjanya dengan Mr. Maki. Berbagai pikiran negatif berkecamuk di kepalanya.
Karena tidak ada karyawannya yang mau mengaku melakukan pencurian sepatu tersebut, akhirnya Pak Dani memasang sayembara di papan pengumuman kantor. 
“BARANG SIAPA MENEMUKAN PENCURI SEPATU MR. MAKI, DIBERI IMBALAN Rp 5 JUTA!!!” 
Hadiah yang cukup fantastis, untuk ukuran harga sepatu. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kabar siapa yang memenangkan sayembara itu.


Biodata penulis:
Yas Marina, lahir di Purwakarta pada 13 November. Ia senang menulis sejak kecil. Hingga kini, tulisannya telah tersebar di beberapa buku antologi. Sekarang, Yas dan keluarganya tinggal di Bandung. Yas Marina bisa dikontak melalui FB: http://facebook.com/dymarina atau kunjungi websitenya di http://dewiyasmarina.blogspot.com/.


Tulisan ini ditujukan untuk Lomba Menulis Kisah Inspirasi Sepatu Dahlan yang diselenggarakan oleh Penerbit Noura Books:



Senin, 14 Mei 2012

Diversifikasi Tulisan

Hari ini sepertinya aku sedang punya kesempatan nulis di blog dan memang ada yang ingin aku tuliskan. Kadang-kadang, bagiku menulis adalah berdialog dengan diriku sendiri untuk menemukan sebuah kejelasan dan mungkin solusi.

Yang ingin aku tuliskan sekarang adalah unek-unekku. Lagi-lagi aku tidak yakin saat menuliskan judul. Mudah-mudahan dengan mengurainya unek-unekku, diakhir aku dapat kejelasan setidaknya tentang judul yang aku tulis itu.

Aku orangnya ingin segala bisa. Dan aku bersyukur gudang ilmu itu ada dan bisa kujangkau. Tapi, jadinya aku merasa tidak maksimal di satu bidang. Padahal aku ingin sekali bisa optimal dulu di satu bidang baru beralih ke bidang yang lain. Masalahnya, kesempatan itu begitu menggodaku. Begitulah. Kadang-kadang kesempatan itu adalah salah satu bentuk cobaan.

Sepertinya, di sini aku harus memutuskan supaya aku komitmen untuk spesialisasi dulu sampai titik aku merasa sudah melakukan yang terbaik. 

Takut menyesal? Ah, aku sih bukan penganut dogma kesempatan itu hanya satu kali. Aku yakin kehidupan itu aksi-reaksi. Di mana ada yang membutuhkan pasti ada kesempatan. Jadi, selama aku terus berkarya di satu bidang, di kemudian hari, di bidang lain pasti tetap memberikan kesempatan. Jadi, aku yakin pasti tetap ada kesempatan bagiku di kemudian hari.

Kesimpulannya, nggak usah tergoda dululah untuk diversifikasi tulisan. Optimalkan dulu ilmu yang sudah aku terima. Aku merasa belum memanfaatkan seabrek ilmu-ilmu yang sudah aku terima selama ini. Insya Allah, ini yang terbaik untukku. Bismillah...

Eh, omong-omong tentang ilmu, bukan berarti aku banyak ilmu, lho. Maksudku begini. Ilmu yang aku punya itu bagiku adalah sebuah pintu. Ilmu yang sebenarnya, ada di dalamnya. Nah, untuk mendapatkan ilmu yang sebenarnya, kita harus membuka pintunya dengan cara memanfaatkan ilmu yang kita punya tersebut semaksimal mungkin. Jadi, ilmuku akan tetap hanya sebagai pintu kalau tidak digunakan. 

Ada masukkan atau pendapat lain?

Writing Company

Entah tepat atau tidak untuk judul yang kuberikan pada tulisan ini. Yang pasti aku hanya ingin menceritakan pengalamanku ketika menerima order menulis dari sebuah agensi penulisan.

Waktu itu akhir bulan November. Agen memberikan tugas menulis empat buah novel anak bertemakan profesi. Tadinya, novel tersebut akan digarap penulis lain. Namun berhubung penulis yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya, akhirnya tugas tersebut dipindahtangankan padaku.

Waktunya satu bulan! Begitulah tengat waktu yang diberikan. Berarti, satu novel setebal 50 halaman harus diselesaikan dalam waktu satu minggu. Aduuh... mampu nggak ya? pikirku bimbang. Tapi melihat honornya yang senilai motor Mio itu membuat saya tergiur. Apalagi ada uang mukanya.

"Sanggup tidak?" tanya suara di ponselku.
"Ya. Saya sanggup." Akhirnya aku memutuskan.

Hal pertama yang aku lakukan adalah aku menelepon suamiku untuk meminta restu. Apa jawaban suamiku?
"Terserah kamu. Asal tidak stress dan jadi marah-marah sama anak-anak."
Ups! Berat juga sih. Tapi aku akan lakukan semaksimal mungkin. Aku coba beri tahu anak-anakku bahwa aku mendapat tugas dan aku minta pengertian mereka supaya mereka tidak banyak merecokiku dengan hal-hal yang bisa diatasi oleh mereka sendiri.

Selanjutnya, aku menghubungi orang tuaku. Apih dan Mamah. Beliau berdua hanya tinggal berdua saja di kampung karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari mereka. Aku minta mereka datang ke rumahku. Aku minta tolong Mamah supaya bersedia menjadi koki keluarga kami. Aku juga minta tolong Apih untuk menemani dua balitaku bermain. Masalah pekerjaan rumah tangga yang lain, untungnya aku punya asisten rumah tangga.

Beberapa saat setelah aku menyelesaikan proyek ini, aku cerita pada temanku mengenai betapa hebohnya saat aku dikejar deadline. Dia bilang, kenapa kamu tidak membagi tugas juga dengan aku sebagai pencari data?

Dari ucapannya, aku jadi ingat sharing pengalaman Nia K. Haryanto. Menurut Nia, untuk menyelesaikan sebuah buku, ia punya tim. Jadi, walaupun buku itu atas namanya, namun yang bekerja dibalik sebuah buku belum tentu sendirian.

Hal yang menarik, pikirku. -Inilah salah satu alasan kenapa aku menuliskannya di sini-. Sebuah buku muncul dari kerja tim. Penulis utama menjadi manajernya. Apakah ini suatu keprofesionalan dalam bidang penulisan. Entah ya. Aku bukan siapa-siapa di dunia penulisan. Jadi, aku merasa belum layak untuk memberikan penilaian. 

Aku ingin melihat dari sisi positifnya saja. Seorang penulis yang baik tentu harus membuat karya tulis yang bermutu. Keproduktifannya menulis jangan menjadi alasan dia mengabaikan standar mutu ini. Nah, dengan dia membuat tim, mudah-mudahan dia terbantu dalam proses penulisannya sehingga kualitas tulisannya tetap terjaga. Meskipun dikejar tengat waktu, dia tetap bisa menghasilkan tulisan-tulisan yang bermutu dan bermanfaat bagi para pembacanya.

Kembali ke judul tulisanku di atas. Jadi, 'writing company' yang aku maksud adalah usaha penulisan sebuah buku yang digarap oleh beberapa orang dengan penulis utama sebagai pengaturnya. Adapun honor para pekerja tersebut tentu dibayar oleh penulis utamanya. Seperti yang terjadi padaku. Meskipun orang tua dan anak-anakku tidak secara langsung membantuku dalam penulisan. Namun atas dukungan dan pengertian mereka, honor yang aku terima tidak aku simpan sendiri. Aku membeli printer yang sangat diinginkan puteriku, aku juga membeli sepeda untuk anak laki-lakiku, membeli sepatu untuk suamiku, membelikan recorder yang diidam-idamkan ayahku untuk merekam pengajian dan uang cash untuk mamahku yang suka belanja.

Dari situ, aku mendapat pengalaman. Mungkin aku tidak harus takut menerima order-order menulis. Dengan kemampuan dasarku yang aku miliki di bidang penulisan, sepertinya aku bakal sanggup.Tinggal bangaimana aku bisa pandai-pandai me-manage-nya saja. Betul tidak?

O,ya omong-omong tentang hasil tulisanku yang empat novel itu. Menurut editornya, ternyata bukunya tidak dicetak masal karena langsung diikutsertakan penilaian proyek pemerintah untuk pengadaan buku nonteks. Gak papa sih, resiko dijual putus memang begitu. Aku sih berharap pengalaman menerima order menulis kemarin akan berdampak baik padaku untuk ke depannya. Amiin... :)


Selasa, 01 Mei 2012

Novel: Alice-Miranda at School



Judul: Alice-Miranda At School
Penulis: Jacqueline Harvey
Penerjemah: Reni Indardini
Editor: Herlina Sitorus
Penerbit: Little K
Cetakan: I, Juni 2011
Tebal: 265 halaman
Inilah novel 'unyu-unyu' berikutnya yang aku baca. Hehe... kayaknya aku lagi stress abis. Dua hari ini pengennya baca yang 'manis-manis' terus. Yang ringan-ringan. Tapi tentu tetap menarik.

Buku ini -seperti buku enid blyton, yang aku sukai- bersetting sekolah asrama. Entah kenapa, aku seneng banget buku-buku seperti ini. Mungkin memang pas penulisnya bagus aja ya. 

Ceritanya begini, ada seorang anak berumur 7 1/4 tahun yang bernama Alice-Miranda masuk ke sekolah asrama di Akademi Winchesterfield-Downsfordvale Untuk Perempuan Muda Baik-baik (namanya unik ya).

Nah, si Alice-Miranda ini anak yang istimewa untuk anak seumurannya. Pokoknya terlalu hebat deh..hehe..

Bayangin saja, dia mampu menjawab soal-soal hitungan, bahasa, geografi dan sejarah. Kemudian dia juga mampu melakukan perambahan alam liar selama 5 hari di hutan dekat sekolahnya sendirian. Selain itu dia juga mampu mengalahkan musuhnya dalam lomba berlayar di danau. 

Namun, buku ini tetap menarik kok dan bagus dibaca oleh anak-anak middle grade, umuran SD. Yah, meskipun tidak ada yang namanya manusia sempurna, tetap saja sebuah contoh harus sosok yang sempurna. Dan itu ada pada diri Alice-Miranda.

Kenapa sih Alice-Miranda bisa mempunyai kepribadian seistimewa itu? Lihat saja, Alice-Miranda tidak menghiraukan orang-orang yang bersikap jelek kepada dirinya. Alice-Miranda sungguh 'ajaib'. Ia bisa melihat inti permasalahan seseorang kenapa bisa berbuat seperti itu. Contoh, ketika Miss Grimm, sang kepala sekolah selalu marah-marah dan sangat membenci Alice-Miranda hingga memberi tes yang sulit-sulit supaya Alice-Miranda dikeluarkan dari sekolah, Alice Miranda malah menilai bahwa Miss Grimm itu sebenarnya seseorang yang sedang bersedih. Wow!

Kalau aku bisa menilai sebab-akibat, mungkin Alice-Miranda adalah anak yang terlalu bahagia. Anak yang penuh dengan limpahan kasih sayang yang tulus namun tidak dimanjakan. Contohnya ada bagian cerita yang mengisahkan saat neneknya mengajarkan Alice-Miranda membereskan tempat tidur, saat ayahnya mengajak kemping dan mengajarkan membuat api unggun serta membuat tenda. Artinya, Alice-Miranda memang mendapat perhatian penuh dalam masalah kasih sayang dan pendidikan. Yah, kalau bagiku itu sebuah inspirasi. Apalagi penulisnya memang seorang guru. Tentu hal itu berdasarkan pengalaman dirinya menghadapi anak-anak.

O,ya ada lagi yang ajaib di sini yaitu makanan kering-beku. Dolly Oliver, juru masak keluarga Alice-Miranda berhasil menemukan teknik pengawetan makanan di lab-nya. Makanan-makanan diawetkan hingga menjadi segelintir kacang. Kalau hendak disantap tinggal dimasukkan ke dalam air mendidih. Dan, hopla! Berubahlah menjadi daging domba panggang, lengkap dengan kentang rebus, labu kuning, kacang polong, dan kol brusel. Hahaha... ajaib sekali bukan? Dan ternyata koleksi jenis makanannya beragam. Sampai ada hidangan penutupnya pula seperti puding jahe dan puding prem. Novel-novel seperti ini memang tidak pernah melewatkan bahasan tentang makanan ya... Slrrrppp.....

Namun ada satu hal yang aku bete dengan buku ini adalah namanya yang panjang-panjang dan rumit cara penulisannya. 

Contoh nama sekolahnya tadi. Kemudia nama asli Alice-Miranda, yaitu:

Alice-Miranda Highton-Smith-Kennington-Jones

Kemudian nama sahabatnya Alice Miranda:

Millicent Jane McLoughlin-McTavish-McNoughton-McGill dengan nama panggilan Millie.

Aku heran, apa benar ada orang dengan nama seperti itu? Tega banget orang tuanya ngasih nama yang pastinya cukup sulit dilapalkan seorang anak. Tapi... mungkin saja sih ini hanya keunikan dalam sebuah cerita.

Btw, secara keseluruhan, aku suka dengan buku ini sehingga aku tertarik melanjutkan membaca seri berikutnya yaitu Alice-Miranda on Holiday dan Alice-Miranda Takes The Lead.



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...