Minggu, 25 Desember 2016

Anak Bermasalah atau Orang Tua Bermasalah?




Hari ini ibu-ibu banyak mendapat ucapan selamat. Sebagai seorang ibu, saya jadi mikir-mikir tentang ke-ibu-an saya. Apakah saya jadi ibu hanya karena punya anak? Apakah saya jadi ibu karena sudah menjalankan fungsi-fungsi seorang ibu? Ataukah saya menjadi ibu karena anak-anak saya merasakan betul sosok ibu dari diri saya? Lanjut mikir lagi. Kalau anak-anak merasakan sosok ibu pada diri saya, apakah itu karena saya menjalani fungsi ibu sebatas insting? Ataukah saya memahami betul yang menjadi tugas saya kemudian menerapkannya di keluarga? Haha...jadi kebanyakan mikir ah!
Tapi, saya memang selalu mengupayakan begitu. Segala sesuatu diawali dengan pemikiran. Jadi berangkatnya gak asal jalan. Jelas niatnya dan jelas tujuannya. Idealnya, niatnya ibadah, tujuannya mardhotillah.
Berangkat dari pemikiran itu, saya mencoba berdiskusi dengan anak yang sudah remaja dan juga suami pada waktu berbeda. Saya ingin mendengar pendapat mereka atas apa yang selama ini saya lakukan sebagai seorang ibu. Saya ingin tahu apakah selama perjalanan hidup saya menjadi ibu, saya melakukan sesuatu untuk anak-anak ataukah saya hanya orang yang beruntung karena oleh Allah dianugerahi anak-anak yang “tidak bermasalah”. Eh, tapi benarkah anak-anak saya tidak memiliki masalah? Hmm...kalau benar seperti itu, mungkin saya tidak akan repot-repot amat menjadi orang tua ya.
Saya bisa saja menyalahkan faktor ekonomi yang menyebabkan kerepotan. Coba kalau punya cukup uang, tentu saya bisa menggunakan jasa baby sitter dan asisten rumah tangga. Bisa memasukan anak ke les-les tertentu sesuai bakat dan minat anak sehingga anak tidak merasa bosan dan uring-uringan terus di rumah. Tapi untungnya saya tidak berpandangan seperti itu. Saya berpatokan bahwa Tuhan itu Maha Adil. Dia memberikan kehidupan kepada kita itu satu paket. Jika kita tidak dimampukan di satu sisi, pasti kita dimampukan di sisi yang lain.
Kembali ke soal anak-anak yang “bermasalah”. Sebetulnya saya merasa bersalah mengucapkan hal ini. Karena setiap saya menemukan masalah berkaitan dengan anak saya, saya selalu memandang saya lah yang sebenarnya bermasalah. Sayalah yang tidak paham anak saya.
Ketika Teteh, anak pertama saya lahir, saya begitu gagap. Padahal Teteh itu memiliki banyak kelebihan. Pertumbuhan motorik, sensorik dan bahasanya cepat. Kognitifnya juga unggul. Di usia TK, Teteh sudah hapal juz amma. Tidak ada alasan untuk tidak bangga padanya. Tapi kenapa saya pernah melakukan kesalahan-kesalahan dalam mensikapinya. Nyata betul sayalah yang bermasalah. Saya sebagai orang tua baru, betul-betul blank pengetahuan tentang psikologi anak. Tapi dari situ saya belajar banyak hal. Seperti ternyata anak itu bukan orang dewasa dengan fisik mini. Tapi sepintar-pintarnya anak, tetaplah mereka anak yang polos dan butuh disayang-sayang (Haduh...segitunya ya saya T_T).
Ketidaknyamanan dalam interaksi saya dengan Teteh menjadi pelajaran ketika saya dianugerahi Uni, anak kedua. Uni hadir dengan kondisi mental keibuan saya lebih matang dari sebelumnya. Saya siap menerima dia apa adanya. Karakter Uni berbeda sekali dengan Teteh. Di usia anak yang biasanya cerewet, Uni malah jarang sekali bicara. Respon fisiknya pun lambat. Padahal tubuhnya lumayan berisi dan berat badannya normal. Kebetulan kondisi perekonomian keluarga kami saat itu sedang rendah-rendahnya, hingga saya mengiyakan saja saat seorang saudara bilang, mungkin lambatnya Uni bicara karena kurang gizi. Waktu itu saya bilang, seperti apapun jadinya anakku, aku menerima, aku akan bahagia dan aku pasti menyayanginya. Sambil nangis-nangis dan meluk Uni tentunya :D
Ketika Uni masuk usia sekolah, saya sulit sekali mengajarkan hapalan. Saya sudah melakukan berbagai upaya seperti menempel bahan-bahan pelajaran di dinding untuk mempermudah Uni menghapal. Namun tidak ada hasil. Apa yang dulu begitu mudah diajarkan pada Teteh, tidak ada hasilnya pada Uni. Bukannya saya menyerah, saya menghentikan seluruh usaha saya dengan asumsi bahwa setiap anak itu berbeda. Saya tidak ingin keceriaan Uni hilang gara-gara saya memiliki target Uni harus seperti Teteh.
Tanpa saya tahu kelebihan Uni, saya biarkan Uni menikmati keceriaan demi keceriaan di sekolahnya. Dia bahagia bersekolah, itu sudah cukup. Dia saja tidak merasa bermasalah, kenapa saya yang harus bermasalah?
Lambat laun Uni menemukan potensi dirinya. Ia suka sekali membaca. Semua buku dibacanya. Dahaganya akan ilmu pengetahuan tidak terbendung. Buku-buku pelajaran milik kakaknya semua dibaca juga. Ketika SMP, dia sudah membeli buku-buku pelajaran hingga tingkat SMA.
Tadi saya tanya ke Uni, kenapa kamu bisa berkembang seperti itu? Jawaban Uni, “Mungkin karena Ibu memberi kesempatan sama aku untuk berkembang. Ibu tidak fokus pada kekurangan aku. Ketika aku sulit menghapal, ibu tidak lantas memasukan aku ke tempat les. Dan karena Ibu tidak tahu kelebihan aku, jadinya ibu tidak mem-push aku. Tapi justru karena itulah aku memiliki kesempatan berkembang.”
Haha...betulkah saya sepintar itu? Rasanya apa yang saya lakukan hanya mengandalkan insting. Tapi saya bersyukur saja kalau ternyata tindakan saya benar.
Bagaimana dengan anak ketiga? Aa, anak ketiga saya juga memiliki karakter pendiam. Waktu kecilnya sering mendapat bully karena pendiamnya itu. Jika Teteh selalu berprestasi dan Uni selalu bersemangat sekolah, Aa justru seperti tidak berminat dalam hal apapun (Haduh...cobaan apalagi ini?). Ketika didaftarkan ke sekolah TK pun, saya sampai harus membahasakan pada Aa bahwa ini bukan ‘sekolah’. Tapi ‘bermain yang dipimpin supaya semua kebagian tempat bermain’. Kembali saya katakan pada diri saya, bukan anak yang bermasalah. Anak sudah terlahir seperti itu. Tuhan sudah membuatnya seperti itu. Saya yang harus memahami mereka. Kalau sayanya malah ruwet, berarti saya yang memiliki masalah.
Waktu Aa pertama kali dibagi raport di SD, saya pernah menyesal karena menanyakan rankingnya pada Ibu Guru. Dengan santai Ibu Guru menjawab kalau Aa ranking terakhir di kelas. Bagi Ibu Guru yang mengerti perkembangan anak, posisi ranking terakhir bukan masalah. Anak sedang dalam masa perkembangan kok. Tapi bagi saya yang waktu itu belum paham dan biasa mendapatkan pujian atas prestasi Teteh dan Uni, rasanya tuh seperti tersengat listrik mulai dari ubun-ubun hingga ujung kaki.
Sejak saat itu saya tidak terlalu memperhatikan kekurangan akademik Aa. Saya sudah bersyukur ketika Aa mau sekolah dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya. Aa bahagia sekali memiliki teman-teman yang baik pada dirinya. Ibu guru bilang, teman-teman Aa baik karena Aa juga anaknya baik. Aa tipe anak yang merangkul semua orang. Ketika Aa menjadi ketua kelompok, Aa malah dengan senang hati mengerjakan semua tugas teman-teman satu kelompoknya (#haha jangan dicontoh).
Entah karena sering dijadikan ketua kelompok atau telaten mengerjakan tugas, akhirnya jiwa kepemimpinan Aa tumbuh dan kemampuan akademik Aa berkembang pesat. Sekali lagi saya bertanya, kira-kira peran apa ya yang saya lakukan hingga Aa bisa berkembang? Rasanya justru saya tidak melakukan apa-apa selain membiarkan anak-anak berbahagia menjadi dirinya. Biarkan mereka melakukan aktifitas positif yang disukainya.
Lain lagi dengan anak keempat, kelima dan keenam. Ketiga anak itu sudah memperlihatkan kelebihannya sejak kecil. Namun karena kelebihannya itulah, orang di sekitarnya sering menganggap ia “bermasalah”.
Kakak, anak keempat. Sejak kecil sudah menunjukkan anak yang keras. Saat umur 3 tahun Kakak punya gaun warna pink dengan sederetan kancing di bagian belakang. Dia berusaha memasukan kancing-kancing itu pada lubangnya tanpa mau dibantu. Selama satu jam Kakak menangis tanpa menghentikan aktifitas mengancingkan bajunya itu. Dan akhirnya dia berhasil.
Karena kemandiriannya yang terlalu cepat itulah kadang menjadikan kakak-kakaknya kesal. Dia tidak pernah mau dipegang tangannya saat berjalan di jalan raya. Padahal kakaknya khawatir akan keselamatannya. Dia juga tidak pernah terpengaruh dengan ejekan teman dan paling jago membalikan ejekan. Tanpa dia sadari, kelebihannya itu sering menjadikan dia bermasalah dengan saudara-saudaranya. Kakak-kakaknya protes pada saya, “Kenapa Ibu sayang sama dia? Padahal dia itu bandel!”
Saya tertawa. Kata saya, kalian tidak tahu, ‘bandel’ adikmu itu bukanlah mencirikan dia anak bermasalah. Justru itu adalah sebuah kelebihan. Menjadi masalah adalah karena kelebihannya itu belum menemukan tempat yang tepat. Kita hanya tinggal menunggu. Ketika dia menemukan tempat yang tepat, maka bersiaplah kita akan melihat sesuatu yang hebat dari dirinya.
Abang, anak kelima memiliki kelebihan dalam menyimpan data. Kami selalu menyebut dia ‘wikipedia berjalan’. Pada umumnya dia bisa menjawab apa saja yang kita tanyakan. Ketika kita di perjalanan pun, tidak usah khawatir tersesat. Kita bisa tanya dia ini jalan apa atau harus keluar dari gerbang tol mana, kejadian terkini di sepanjang perjalanan, kondisi lalu lintasnya bagaimana, kecelakaan di mana saja, dll. Kita juga bisa tanya dia kapan jadwal shalat, ibu kota tiap provinsi, kebijakan-kebijakan pemerintah terbaru, pemilik saham perusahaan-perusahaan besar, tanggal lahir sanak saudara, dan lain-lain. Abang sudah bisa membaca dengan lancar sejak usia 3 tahun. Sejak umur itulah dia mengisi memorinya dengan data-data.
Lantas masalahnya apa? Hmm...saya belum begitu tahu selain kemampuan motorik kasarnya yang kurang dan sensitifitasnya yang agak dominan. Tapi kenapa pula harus memikirkan kekurangannya? Untuk umur Abang yang baru 10 tahun, biarlah dia mengembangkan dulu kelebihan-kelebihannya itu.
Lain lagi dengan Ade, anak keenam. Kelebihannya itu sering membahayakan dirinya dan orang yang berada di dekatnya. Bagi Ade, hidup ini adalah mencapai tujuan. Tidak ada halangan dan rintangan. Jika tujuan sudah jelas, mau di depannya ada gunung, tidak masalah. Dia akan menabraknya untuk mencapai tujuannya. Ade tidak pernah takut apapun. Dia tidak pernah dikuasai oleh keadaan. Dia yang menguasai. Namun disitulah Ade sering mendapat masalah. Tubuhnya sering kena luka, teman-temannya sering kena senggol.
Apakah Ade anak bermasalah? Sekali lagi saya bilang, tidak! Bagi saya, karakter Ade adalah kelebihan. Saya tidak boleh menghentikan Ade. Justru saya harus memberikan ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan kelebihannya itu tanpa membahayakan diri dan lingkungan sekitarnya.
Saya sempat takjub melihat Ade main trampolin. Dia dengan santainya tertawa-tawa dan bicara, padahal tubuhnya sedang diancul-ancul ke atas. Ketika kakak-kakaknya panik di dalam bola air, Ade dengan santainya rebahan. Dia betul-betul bisa menguasai diri tanpa dipengaruhi keadaan. Dan itu adalah potensi.
Hehe... sepertinya saya bercerita terlalu jauh kesana-kemari. Padahal sebetulnya saya kan hanya ingin bertanya, apa sih yang sudah saya lakukan sebagai seorang ibu untuk anak-anak saya? Sampai detik ini sebenarnya saya masih bingung. Mungkin memang benar, hanya karena kebaikan Allah-lah, anak-anak saya terlahir tanpa masalah. Dan memang tidak ada anak “bermasalah”. Jika saya menganggap ada masalah, itu artinya saya lah yang bermasalah.

Tulisan ini pernah diposting sebagai status facebook dalam rangka menyambut Hari Ibu 22 Desember 2016 

14 komentar:

  1. aku harus bener2 mencontoh mbak nih :).. biar gimanapun, hebat mbak, bisa mndidik anak 6, dan akhirnya toh mereka semua menemukan klebihan2 mereka.. intinya, mbak ga pernah memaksakan kemauan mbak ke mereka yaa.. lepasin aja, dan kita tetep menjaga dr jauh... gitukan ya... aku mau praktekin yg sama ke anakku... dulu aku didik keras ama papa dan mama.. apapun kehendak papa, itu hrs aku ikutin... ga peduli aku suka ato ga.. aku ga jago eksakta, tp papa ttp maksa aku masuk ipa.. aku pgn kuliah di pariwisata, tp papa maksa aku ke ekonomi bisnis.. efeknya aku udh sadar kok, aku ga punya kelebihan yg menonjol krn semua yg aku lakuin itu hanya krn desakan orang tua, bukan keinginan dan bakatku .. ga pengen ngelakuin hal yg sama ke anakku skr.. :) moga2 aku bisa seperti mbak juga :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mba. Ketidaknyamanan yang pernah kita alami menjadi pelajaran saat kita mendidik anak kita. Jangan sampai anak kita mengalami yang pernah terjadi sama kita. Sukses dengan keluarganya ya, Mba :)

      Hapus
  2. anaknya pintar cerdas semua ya..mba.., ku yakin itu turunan ibunya..jadi gak da yang bermasalah he2, anak unik..mereka unggul dibidang masing2..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Justru saya banyak melakukan kesalahan Mba hehe... Alhamdulillah saya banyak belajar dari kesalahan-kesalahan itu:)

      Hapus
  3. ini pintar2 semua anaknya mbak. Orangtuanya juga orangtua istimewa. Dulu, dari belum merit saya punya impian punya 6 anak, dan semuanya punya keunggulan masing2. Keunggulan yang bukan soal akademik.
    Jadi pas kesini senang juga baca tulisan mbak :)

    BalasHapus
  4. Waaaah...saluut mbak..
    Menginspirasi. Terkadang ada bagian kejadian yg dituliskan juga pernah saya alami. Memang anak-anak punya kelebihannya sendiri yak. Biarkan berkembang sesuai dengan passionnya mereka. Kemampuan akademik bukanlah segalanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mba, kalau mereka udah minat InsyaAllah berkembangnya cepat :)

      Hapus
  5. Haduuh saya terharu malahan mbak bacanya. Dengan 6 anak yg berbeda karakter pasti rame banget yaa rumahnya. Seperti saya yg juga 6 bersaudara hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rame Mba kalo pas kumpul semua hehe... Tapi pas udah keluar semua, yang kuliah di luar kota, yang sekolah full day, tetep aja kesepian :v

      Hapus
  6. Teteh, Uni, Aa' dan Kakak punyaa kelebihaan dan keunikann masing" mbak yaa :D Salutt deh sama mbak Yas bisa mendidik sampai sehebat itu :) Semogaa sehat dan bahagia selalu untuk mbak yas dan keluarga. Salam kenal mbak :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, Mba. Semua anak pasti punya kelebihan, Mba. Terima kasih ya sudah berkunjung :)

      Hapus
  7. Ya Allah, beruntungnya aku baca tulisan ini. Sudah lama aku bookmark, Mbak. Tapi baru malam ini aku sempat baca.

    Aku dulu terbiasa hidup dgn tuntutan orangtua Mbak. Aku ingin anakku tak merasakan hal serupa. Tapi, aku bingung mau mulai dari mana. Di sekolah (saya guru) apakah hal seperti ini juga bisa diterapkan? Ada saja muridku yg nggak bisa baca padahal sudah cukup umur (7th). Aku biarkan saja mereka? Atau aku paksa mereka agar mau belajar membaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf Mba, saya baru baca komentarnya. Apa yang saya sampaikan di sini tentu berkenaan dgn penanganan personal. Sedangkan untuk seorang guru di sekolah, mungkinkah dapat melakukan pendekatan personal? Anak umur 7 tahun belum bisa membaca tentu jangan dibiarkan. Jika dia kesulitan diajari seperti anak yang lain, pengajar harus menemukan masalahnya di mana. Sehingga cara mengajarnya pun disesuaikan dengan gaya anak. Demikian Mba yang bisa saya sarankan. Mohon maaf jika salah.

      Hapus

Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...