Jumat, 05 November 2010

(LOMBA: Moms Go Blogging) Awan, Lancar Membaca dan Menulis di Umur 3,5 Thn.

Kami biasa memanggilnya Awan meskipun nama sebenarnya adalah Anwar. Terus terang aku pernah merasa "surprise" ketika dia lahir. Setelah aku melahirkan keempat kakaknya yang berkulit putih, Awan mempunyai warna kulit lebih gelap. Awan adalah anak ke-5 dari 6 orang anakku. Sehingga para tetangga selalu bilang, "Lho, yang ini kok lebih berwarna?". Kecewa? Tentu tidak! Naluri seorang ibu, akan tetap sayang pada anaknya walau bagaimana pun adanya. Ketika Awan menginjak umur 2 tahun, dia menunjukkan kekuranglancaran dalam berbicara. Kalau dia memanggil atau meminta sesuatu, dia lebih suka bilang, "Euh...! euh..!". Sambil menunjuk-nunjuk apa yang dia maksudkan. Melihat keadaan itu, aku merasa khawatir tapi juga tidak khawatir. Tidak khawatir karena aku menganggap itu alamiah. Dulu juga Hamzah, kakak laki-lakinya Awan sama seperti itu, pikirku, dan sekarang bisa bicara normal. Khawatirnya, karena pada kenyataanya ketidaklancaran berbicara tetap saja mengganggu proses belajar. Ketika TK, Hamzah tidak mau disuruh ibu gurunya bicara di depan, karena suaranya yang cedal kerap ditertawakan teman-temannya.

Suatu waktu, Aku sedang menonton film kartun di televisi bersama Awan. Ketika sesi iklan, Awan berteriak menyebut nama produk makanan ringan yang kebetulan kemasan produk itu sedang dia pegang. Ketika iklan beralih ke produk susu bubuk, dia berteriak juga menyebutkan nama susu bubuk tersebut sambil menunjuk-nunjuk ke meja makan di mana di situ ada dus susu bubuk tersebut. Aku menjadi penasaran, ku ambil dus susu bubuk itu. Lalu aku tunjuk merk yang tercantum di dus tersebut.

"Wan, Apa ini?"

Awan menyebutkan merknya. Lalu aku cari kemasan produk lain seperti sabun mandi, pasta gigi, detergent, shampoo dan lain-lain yang biasa ada di iklan televisi. Dengan lancar dia bisa menyebutkan merknya. Aku tambah penasaran, lalu aku ambil selembar kertas dan pinsil. Aku tulis merk produk tersebut di kertas lalu aku tunjukkan kepada Awan untuk dibacanya. Dan, ternyata dia tetap bisa menyebutkan merk yang sudah kutulis di kertas tadi. Malah dia memintaku untuk menuliskan merk-merk produk lain yang biasa dia lihat di iklan televisi.

Awan tampak semakin senang dengan aktivitas itu. Wajahnya cerah ketika aku tertawa dan bertepuk tangan setiap dia bisa menebak kata yang aku tulis. Tapi dia energinya memang luar biasa. Ketika aku mulai capek, dia masih tetap semangat. Sampai pernah suatu malam dia memintaku untuk menulis untuk dibacanya padahal aku mengantuk sekali. Akhirnya, aku beri Awan buku Yellow Page untuk dibacanya. Besoknya dia jadi tahu nama-nama bank, merk-merk mobil dan barang-barang elektronik. Melihat hal itu aku jadi semakin terpacu. Aku mengenalkan tulisan dari kata-kata yang dia kenal seperti kata ibu, bapak, kakak, teteh, piring, gelas, sendok, mobil, bebek dan lain-lain. Setelah kosa katanya cukup banyak, aku membelikan dia sebuah buku cerita yang memiliki huruf-huruf besar dan kalimatnya sederhana. Dia senang sekali ketika bisa membacanya dan mengerti makna dari kalimat tersebut. Dia hanya menanyakan awalan atau akhiran 'meng' dan 'nya', itu dibacanya, apa sih?

Sekarang Awan berumur 3,5 tahun dan Ia semakin lancar membaca. Buku apapun bisa ia baca. Bahkan dia bisa mengoperasikan komputer sendiri dengan mengikuti intruksi yang ada pada komputer. Ia juga bisa menulis dengan menggunakan program Microsoft Word. Dia bisa menulis karena tahu huruf-huruf apa saja yang harus dia tekan di keyboard untuk menulis kata-kata yang diinginkannya. Tapi aku tahu, aku harus tetap mendampinginya terus. Karena dengan kemampuannya, Awan bisa terkena dampak negatif juga. Dia sudah biasa googling sendiri, mengetikkan judul-judul film kartun kesukaannya untuk dia tonton di youtube. Apa jadinya kalau dia mengetikkan kata-kata yang tidak cocok untuk anak seumurannya, tentu akibatnya akan sangat mengerikan sekali. Hal lain yang aku senang adalah kemampuannya membaca membuat dia terlatih untuk melapalkan kata-kata. Sehingga kemampuan bicaranya pun ikut terlatih. Sekarang Awan hampir sudah tidak cedal lagi. Yah..., jalanmu memang masih panjang, anakku. Masa depanmu pun masih terbentang luas di hadapanmu. Tapi aku senang. Karena Awan dan aku sudah memulainya dengan baik.

MEMAHAMI AGAMA ALA MASA KECILKU DAN ALA ANAKKU SEKARANG

Mendiskusikan wacana tentang pemahaman akidah yang harus dimiliki setiap muslim dengan anak gadisku. Saya melihat ada perbedaan pendekatan yang saya alami pada masa kecil dengan pendekatan yang dialami oleh anakku.
Masa kecil saya tinggal di lingkungan pesantren. Saya mengenal Tuhan melalui ritual-ritual yang diajarkan guru-guru ngaji saya termasuk juga kakek (dari pihak ayah) dan nenek (dari pihak ibu). Mengapa saya mau melakukannya? Padahal untuk seukuran anak kecil seperti saya, ritual-ritual yang dilakukan, termasuk lebih berat daripada ibadah wajib itu sendiri. Contoh: Dzikir-dzikir yang berjumlah ribuan, puasa sunnah, yasinan yang diulang-ulang, sholat sunnah seperti sholat tasbih yang pelaksanaannya cukup lama karena saking ribet dengan bacaan-bacaannya.
Saya tidak mempermasalahkan apakah hal ini dicontohkan oleh Rosululloh saw atau tidak. Karena mungkin memang tidak kepikiran sampai situ. Yang pasti orang-orang tua saya melakukan hal itu. Kembali kepada pertanyaan tadi, kenapa saya waktu itu mau menjalankannya? Karena mereka selalu menceritakan balasan-balasan yang akan saya dapat baik itu selagi di dunia maupun nanti di akherat (fadilah).
Sebagai anak kecil yang membutuhkan imajinasi. Cerita mengenai surga dengan segala isinya, seakan-akan khayalan dunia dongeng yang amat dirindukannya. Saya masih ingat ketika kakek saya membelikan saya buku kumpulan doa. Saya baca tiap judul doanya, lalu saya hapalkan doanya. Apa yang saya bayangkan saat itu? Mantera. Saya membayangkan bahwa doa yang saya ucapkan adalah mantra ajaib yang bisa mengabulkan apa yang saya minta.
Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan pola pikir saya saat itu. Ya, namanya juga anak kecil. Tapi jangan dikira apa yang saya lakukan itu tidak berdampak. Kebiasaan ibadah ritual yang dilakukan terus menerus mampu juga membekas dan mencetak jiwa. Keyakinan saya kepada Alloh swt yang akan mengabulkan segala doa-doa membekali perjalanan hidup saya selanjutnya. Selalu sadar hidup dalam pengawasan Alloh swt dan yakin tak ada yang bisa terjadi tanpa seizin-Nya menjadi landasan saya dalam melangkah.
Seiring dengan kedewasaan akal, saya pun mendapat pendidikan agama dengan pendekatan yang lain. Katakanlah, pendekatan dengan sistem mentoring yang diterapkan di kampus-kampus. Di situ saya banyak berdikusi tentang berbagai hal tentang agama (Akidah, syariah dan akhlak). Tak ada yang salah dengan kedua pendekatan di atas (gaya pesantrenan) dengan gaya mentoring. Saya merasa apa yang saya terima selama ini begitu saling melengkapi. Dengan diskusi-diskusi membuat saya merasa keyakinan-keyakinan yang selama ini tidak terbahasakan menjadi terjawab sudah. Dan itu lebih menguatkan pengenalan saya kepada Alloh sebagai Tuhan dan Islam sebagai pegangan hidup.
Ada rasa sedih dan khawatir ketika anak-anakku agak melalaikan ibadah ritual terutama tentu saja yang wajib. Ada pertanyaan di benak saya. Apa mereka terlalu kecil untuk memahami rasa takut kepada Tuhan tatkala mereka dengan santainya tidak melakukan ibadah wajib? Lantas bagaimana pertanggungjawaban mereka nanti di hadapan Alloh swt, padahal secara syariat mereka sudah termasuk umur baligh? Apakah saya sebagai orang tua yang terlalu longgar kepada mereka? Saya sebagai ibu, sebagaimana disabdakan oleh rosul “Ummi madrosatun”, merasa gelisah kalau seandainya anak-anak yang selama ini diasuhnya akan menjadi liar tidak mengindahkan ajaran-ajaran tuhannya.
Seperti anak gadisku (yang selama ini mendapat pendidikan agama secara mentoring), bilang: “Aku belajar agama tuh dengan otak, supaya bisa memahami secara sistematis. Aku bilang: “Ya, tapi saat nafsu kita mendominasi, jangan sampai otakmu secara sistematis pula melakukan bantahan-bantahan.”
Berbeda dengan masa kecilku yang “nerimo” saja apa kata orang tua. Asal kata orang tua itu benar, bagus. Tanpa banyak cing-cong, ya dijalani saja. Saya kira saya harus mengkombinasikan kedua pendekatan itu kepada anak-anakku seperti yang aku jalani selama ini. Mudah-mudahan tidak ada kata terlambat. Karena, the real is Alloh, Sang Maha Pendidik.

Catatan: Keterbatasan penulis akan pengetahuan beberapa istilah, memungkinkan beberapa istilah salah dalam penempatannya. Mohon maaf.

(ORDINARY MOM) BIARLAH MEREKA BAHAGIA SAJA DI HARI TUA

Peristiwa ini terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Sering sekali aku menelepon mamahku malam-malam di atas jam 20.00. Alasan pertamanya adalah karena biaya interlokalnya lebih murah. Sedangkan alasan keduanya, aku merasa butuh curhat setelah seharian menghadapi berbagai kesibukan di rumah tanggaku.

Masalah seputar anak-anak, bingung sama kenaikan harga-harga sembako, kesel sama tetangga, dan segala macam tetek bengek keluh kesah lainnya. Mamahku selalu siap menjadi pendengar yang setia. Sebetulnya aktivitas itu, entah menyelesaikan masalah atau tidak. Yang pasti, dadaku terasa lebih ‘plong’ setelah semuanya dikeluarkan.

Kadang aku berpikir, rasanya aku belum bisa mandiri seutuhnya dengan selalu curhat kepada mamahku. Aku merasa mempunyai ketergantungan kepada beliau. Padahal mungkin tidak bisa selamanya aku begitu. Pada suatu saat aku pasti harus mencoba menghentikannya. Tapi kapan? Entahlah, rasanya aku belum siap.

Malam itu seperti biasa, aku telepon mamahku. Dari suaranya aku tahu, sepertinya mamahku kurang enak badan.

“Kenapa suaranya serak Mah?”

“Iya, Mamah lagi kurang enak badan, radang tenggorokkan mungkin.”

“Apih kemana?” Apih adalah panggilan untuk ayahku.

“Baru saja tidur. Kecapean, seharian di kebun.”

Ya, setahuku dari kecil, Mamah memang sering sekali kena radang tenggorokkan. Kalau sudah begitu, biasanya Mamah selalu pakai baju hangat dan sering tiduran atau duduk-duduk saja.

“Ada apa, Teh?” Tanya Mamah. Karena aku anak paling besar, hampir semua anggota keluarga memanggilku Teteh.

“Ah, nggak. Pengen ngobrol aja.”

Dan keluarlah 1001 keluh kesahku dengan deras. Di seberang sana, Mamah hanya merespon dengan ucapan iya-iya saja. Tapi itu tak menghentikan aliran curhatku. Diberi kesempatan bicara, mungkin malah menambah semangat curhatku tanpa takut dikejar pulsa. Sampai akhirnya…

Ngngngng…….

“Halo? Halo? Mah? Mah? Masih di situ?”

Tidak ada jawaban.

“Huh, dasar instalasi telepon jelek! Selalu saja ada gangguan.” Rutukku dalam hati. Kejadian seperti ini memang kerap terjadi. Sambungan telepon putus dengan tiba-tiba. Atau memang tidak bisa nyambung selama berhari-hari.

Orang tuaku tinggal di luar kota yang cukup terpencil, sehingga kadang menyulitkan petugas telepon melakukan perawatan dan pengawasan terhadap instalasi pesawat telepon. Kejadian pencurian kabel telepon bahkan sering sekali terjadi. Dan itu yang membuat kami sering tidak bisa saling berhubungan satu sama lain. Sedangkan komunikasi memakai handphone, pada saat itu pulsanya masih terlalu mahal bagi kami.

Mamah dan Apih memang hanya tinggal berdua. Saya dan kedua adikku sudah berumah tangga dan tinggal di lain kota. Dan karena berbagai kesibukkan, maka teleponlah sarana kami untuk tetap saling berkomunikasi.

Karena hubungan telepon terputus, aku putuskan untuk menutup gagang teleponku dan segera tidur menyusul suami dan anak-anakku yang sudah terlebih dulu terlelap. Kulirik jam dinding, hampir menunjukkan pukul 22.00. Wah, berarti aku tadi ngobrol sampai 1 jam lebih sama Mamah. Gak kerasa banget! Karena kantuk sudah menyerang, maka aku pun segera terlelap.

Kriiing…kriiing…. Suara telepon membangunkanku. Sambil setengah mengantuk aku melihat jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

“Siapa sih, yang nelpon malam-malam gini?” omelku dalam hati.

Tapi tak urung, kuangkat juga gagang telepon.

“Halo? Siapa ini?”

“Teteh! Si Mamah jatuh! Ditemukan sama Apih jam 11.00 malam udah ga sadar di depan lemari telepon dan kepalanya berlumuran darah. Kemungkinan Mamah pingsan saat nerima telepon, soalnya gagang telepon menggantung ke bawah lemari.” Terdengar suara panik adik bungsuku di ujung telepon sana.

Deg. Seluruh tubuhku terasa beku. Keringat dingin bermunculan di pelipisku. Dengan dada sesak, aku mencoba bicara pada adikku.

“Din, sebenarnya yang nelpon tadi itu Teteh. Teteh kira teleponnya rusak, jadi Teteh tutup saja teleponnya. Tapi terus terang, sekarang Teteh belum sanggup buat nelpon Apih. Sekarang bagaimana keadaan Mamah?”

Rupanya adikku memahami betul rasa takut tengah menguasaiku. Alhamdulillah, dengan bijak dia bisa memakluminya.

“Ya, sudah. Teteh tenangkan diri dulu. Mengenai keadaan Mamah, karena Apih tidak bisa menghentikan aliran darah di kepala Mamah, jadi dia minta tolong tetangga. Kebetulan, menantunya tetangga yang seorang perawat lagi ada di situ. Jadi, bisa melakukan pertolongan.”

“Memang peralatannya ada?” tanyaku ingin tahu lebih jelas.

“Perawat itu nyuruh Apih nyari ojek supaya ke Puskesmas ngambil peralatan. Penjaga Puskesmasnya kan tinggal di samping Puskesmas. Sekarang kulit kepala Mamah udah dijahit dan Mamah udah sadar lagi. Apih juga baru kepikir ngasih tau aku barusan setelah Mamah beres dirawat. Terus aku disuruh ngasih tau Teteh dan Aa. Udah dulu ya, Teh. Sekarang aku mau nelpon Aa.”

Dengan perasaan yang tidak menentu dan tangan gemetar, aku simpan gagang telepon. Aku menghela napas dalam-dalam untuk lebih meringankan rasa berat di dadaku. Berat oleh rasa penyesalan yang begitu mendalam. Masya Alloh, kasihan sekali Mamah. Kebayang ketika Mamah merasa pegal dan pusing menerima teleponku tadi. Ya Robbi…, ampunilah aku…

Pesawat telepon Mamah memang diletakkan di atas lemari setinggi pinggang. Jadi, kalau nerima telepon ya, harus berdiri. Rupanya badan Mamah sudah tidak kuat lagi. Namun apa daya, rasa kasih sayang kepada anaknya membuat Ia berusaha sekuat tenaga melayani teleponku. Dan pada puncaknya, Ia jatuh pingsan. Dan kemungkinan, kepala Mamah membentur sudut dudukan kulkas yang terbuat dari besi yang letaknya di samping lemari telepon.

Sampai pagi, aku tidak bisa tidur lagi. Air mataku terus mengucur dengan deras. Suamiku bilang, besok pagi kita akan menengok Mamah. Namun, waktu rasanya berjalan lambat sekali. Matahari seakan-akan menjadi lambat untuk terbit. Padahal, ingin sekali aku segera bertemu Mamah. Aku akan bersimpuh di kakinya sambil memohon maaf atas kebodohanku yang teramat sangat! Pada diriku sendiri, aku berjanji. Aku tidak akan membebani pikiran Mamah lagi dengan masalah-masalah hidupku. Aku harus bisa menyelesaikan masalah tanpa perlu ngeluh kesana-kemari. Ya, aku harus bisa tegar, setegar batu karang! Biarlah Mamah menikmati hari tuanya dengan hanya melihat senyum di bibir kami anak-anak dan cucu-cucunya.

* Mamah, maafin teteh ya, Mah...hiks...:'(((

Morning Sick---Is it a Good Thing?

Morning sick sering kali terjadi ketika usia kehamilan menjelang dua sampai tiga bulan. Gejala morning sick biasanya adalah mual dan muntah-muntah. Keadaan ini sangat tidak menyenangkan dan sangat tidak nyaman terlebih-lebih untuk wanita yang harus bekerja. Seringkali wanita yang menderita morning sick merasa depresi dan tertekan karena mereka tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaannya tanpa melewatkan kamar mandi hanya untuk muntah.


Lalu bagaimanakah sebenarnya arti morning sick itu? Apakah morning sick itu selalu dikaitkan dengan sesuatu yang negatif? Jawabannya adalah tidak.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh dua orang ahli biologi Amerika, Samuel M Flaxman dan Paul W Sherman mengatakan "Morning sick merupakan hal yang positif untuk si ibu maupun bayi yang dikandungnya karena dapat melindungi bayi dan ibu dari penyakit-penyakit yang dapat menyerang yang dapat mempengaruhi perkembangan bayi". Hal ini dapat terlihat dari hasil penelitian, adapun fakta-fakta yang terungkap diantaranya:


* Diantara semua wanita hamil yang mengalami morning sick, gejala morning sick terjadi pada usia kehamilan ketika embrio mencapai tahap organogenesis (perkembangan organ-organ tubuh) yaitu ketika usia kehamilan mencapai 6 sampai 18 minggu.

* Sebagian besar wanita yang mengalami morning sick mempunyai angka yang relatif kecil mempunyai cacat lahir pada bayinya. Wanita yang mengalami muntah-muntah selama masa kehamilan mempunyai angka lebih kecil dalam hal cacat lahir pada bayinya dibandingkan dengan wanita yang hanya mengalami mual-mual selama kehamilan

* Fakta lain yang terungkap adalah keengganan wanita hamil untuk makan makanan tertentu terjadi ketika usia kehamilan memasuki bulan ketiga. Dan berdasarkan hasil penelitian, kebanyakan wanita hamil menghindari makanan seperti telur, ayam atau sejenis unggas lainnya dan ikan. Di semua makanan ini memang menempel mikroorganisme dan parasit yang berbahaya. Selain itu makanan lainnya yang juga dihindari oleh wanita hamil adalah makanan yang mempunyai bau menyengat seperti makanan yang mengandung kafein dan juga alkohol.

* Penelitian yang dilakukan oleh kedua ahli biologi ini terhadap tujuh masyarakat tradisional. Diketahui bahwa budaya masyarakat tradisional melarang wanita yang tidak mengalami morning sick untuk tidak memakan makanan yang berasal dari binatang. Wanita hamil hanya boleh memakan makanan berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti jagung. Jagung memang mengandung phytochemical yang rendah. Phytochemical adalah zat kimia yang jika masuk ke dalam tubuh wanita hamil dapat menyebabkan teratogenik yaitu cacat lahir pada bayi.


Menurut profesor Sherman, seorang ahli biologi di Cornell University Amerika, analisis terhadap penelitian yang ia lakukan terhadap wanita hamil yang mengalami morning sick yaitu penghindaran yang dilakukan oleh wanita hamil terhadap jenis makanan tertentu terjadi karena hal ini merupakan salah satu bentuk reaksi tubuh untuk melindungi kesehatan si ibu ketika sistem kekebalannya secara alamaiah tertekan oleh bayi yang berkembang di rahimnya. jika si ibu muntah dan mual, hal ini akan melindungi bayi dari racun-racun yang jika masuk ke dalam tubuh si ibu akan mengakibatkan cacat lahir pada anak seperti perkembangan organ yang tidak sempurna. karena pada usia 2 sampai 3 bulan terjadi pertumbuhan dan perkembangan janin. dalam tahap ini janin akan membentuk organ-organ tubuh seperti tangan, mata, kaki dan lain-lain. Jika masuk racun maka bayi yang akan lahir dapat cacat.

"Istilah morning sick sangat tidak cocok digunakan" kata Profesor Sherman."Morning sick adalah sebuah mekanisme untuk melindungi ibu dan janinnya, dan morning sick tidak selalu terjadi pada saat pagi, tapi terjadi kapan saja "kata Sherman.


So, masih menganggap morning sick sebagai penyakit atau sesuatu yang baik?

http://www.infowanita.com/index.php/section/article/topic_id/1/code/motherbaby/cat_id/16/art_id/67/title/Morning_SickIs_it_a_Good_Thing

Senin, 01 November 2010

The Sisters: KAMUS JHON ECHOLS


“Hey! Kamu masuk kamarku seenaknya saja! Hey! Hey! Mau dibawa kemana kamusku?”

“Enak saja kamu bilang ini kamusmu! Ini kamusku juga, tahu!”

“Ya. Tapi kamu tidak bisa mengambil seenaknya barang yang ada di kamarku!!”

Pagi-pagi sekali sudah kudengar keributan itu dari dapur tempat aku menyiapkan sarapan. Kulihat dari dapur, Ade keluar dari kamar Kaka membawa kamus Bahasa Inggris-nya Jhon H. Echolls. Warna belang-belangnya yang menyolok tidak bisa tertutupi oleh dekapan tangannya.

Begitu Ade melihatku, seakan-akan dia punya kesempatan untuk menumpahkan kemarahannya karena sudah dimarahi kakaknya.

“Coba kalau kami dibelikan masing-masing satu kamus,” semprotnya di depanku. “Kamus ini selalu saja dikuasai dia!”

Jujur aku merasa marah melihat sikapnya yang kelewatan. Dia tidak boleh bersikap seperti itu kepada ibunya. Syukurnya, aku masih bisa berfikir mengenai prioritas. Sikapnya padaku boleh menjadi nomer dua untuk saat ini.

“Dengar! Kamu bicara pada Ibu dan ibu dengarkan. Ibu juga mau bicara. Kamu dengarkan.”

“Sekarang, kenapa Alloh memberi kita rezeki hanya untuk membeli satu kamus? Apa jadinya kalau Dia memberikan apa saja yang kita inginkan?”

“Yang terjadi, kita tidak akan menjadi pribadi yang lebih baik.”

“Kamu seenaknya saja masuk ke kamar kakakmu dan mengambil barang di ruangannya tanpa izin. Coba pikirkan, apakah itu etikanya?”

“Ya, tapi itu barangku juga,” Ade membuat pertahanan atas seranganku.

“Bukan itu yang akan kita bahas. Ibu tanya, sikap tadi benar tidak?”

Ade diam.

“Kalau sejak dulu Alloh memberi kamu dan kakakmu masing-masing satu kamus, mungkin tidak akan ada kejadian tadi yang menunjukkan ternyata kamu belum tahu cara beretika yang benar.”

“Sekarang Alloh hendak menunjukkan dan mendidikmu bahwa semarah apa pun kamu, kamu harus tetap menunjukkan diri sebagai seseorang yang beradab. Orang yang tidak bersikap sopan santun hanya akan menunjukkan derajatnya yang hina. Ibu yakin, kamu tidak begitu.”

“Ya, sudah. Sekarang pakai kamus itu. Tapi jangan lupa, pikirkan ucapan ibu. Bersikaplah dengan cara yang baik pada siapapun. Karena kamu pun pasti tidak suka diperlakukan seenaknya. Saat ini ego-mu mungkin berhamburan mengajukan bantahan. Tapi jujurlah pada diri sendiri, bahwa ucapan ibu tadi adalah benar adanya.”

Ade pergi menuju kamarnya sambil masih menunjukkan muka tidak sedap. Aku tidak kecewa. Karena dia memang tidak harus berubah saat ini juga. Tapi aku yakin, dengan selalu mengingatkannya, nasehat itu pasti tercetak di hatinya. Dan akan muncul dengan indah pada waktunya. Insya Alloh…

AWAN DAN ANGKA ROMAWI

“Aku mau cotton bud, itu!” pintanya.

“Untuk apa?” tanyaku curiga.

“Belajar,” jawabnya pendek.

Aku sudah maklum akan bujukan Awan, anakku. Beberapa kali kepergok menggunakan cotton bud untuk membuat bentuk-bentuk. Reaksiku pernah marah, sampai akhirnya aku memberi nasihat bahwa cotton bud bukan untuk mainan. Tapi Awan berkeras menyangkal. Dia bilang, aku mau belajar!

Akhirnya aku memberi alternatif dengan memberi Awan sekotak tusuk gigi. Dengan trampil dia mulai membuat sesuatu di lantai. Sampai akhirnya dia menepuk punggungku yang sedang asyik memperhatikan TV.

“Bu, ini berapa?” tanyanya sambil menunjuk ke tusuk gigi yang ada di lantai. Tusuk gigi itu membentuk XXI.

Aku tahu, beberapa minggu ini dia ngotot belajar angka romawi. Dimulai dari ketertarikannya mengenal jalan-jalan di blok komplek perumahan kami. Rumah kami terletak di blok 15 B. Hampir setiap hari, aku mengajak ke warung sayur yang terletak di blok 12 A. Awan selalu menanyakan nama blok yang kami lewati.

“Ini blok apa Bu?”

“15 A.”

“Yang ini?”

“14 B.”

“Yang ini?”

“14 A!” jawabku dengan nada tidak sabar.

Ya. Pertanyaan-pertanyaannya sering membuat aku tidak sabar. Belum lagi kalau sudah menanyakan blok ini RT berapa dan RW berapa. Whuaah! Ingin rasanya aku berteriak untuk menunjukkan kejengkelanku supaya dia diam. Namun Awan tidak pernah merasa kapok. Dia terus bertanya sampai akhirnya dia menemukan sebuah kejanggalan.

Awan melihat perbedaan antara jawabanku dengan tulisan yang tercetak di papan nama jalan. Awan bertanya ini blok berapa dan aku menjawab blok 15 B, padahal kenyataan yang dia lihat papan nama itu bertuliskan blok XV B.

“Bu, ini blok ‘eks-ve be’,” ujarnya.

Whuaah! Pekerjaan baru akan segera di mulai. Aku amat menyadari akan hal itu. Tapi hati nuraniku mengatakan, aku harus berpikiran positif. Karena kejadian itu adalah tanda anakku normal. Ingin terus belajar!

Sejak saat itu, Awan selalu mengetesku dengan berbagai pertanyaan.

“Kalau ‘eks-i-i-i’?”

“13.”

“Kalau ‘eks-eks-iv’?”

“24!”

“Kalau ‘eks-eks-iks’?”

“29!!”

“Kalau jam 14.00 itu, jam berapa, Bu? Jam 21.30 itu, jam berapa?”

Ada yang mau menolong menjawabnya?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...