Jumat, 05 November 2010

MEMAHAMI AGAMA ALA MASA KECILKU DAN ALA ANAKKU SEKARANG

Mendiskusikan wacana tentang pemahaman akidah yang harus dimiliki setiap muslim dengan anak gadisku. Saya melihat ada perbedaan pendekatan yang saya alami pada masa kecil dengan pendekatan yang dialami oleh anakku.
Masa kecil saya tinggal di lingkungan pesantren. Saya mengenal Tuhan melalui ritual-ritual yang diajarkan guru-guru ngaji saya termasuk juga kakek (dari pihak ayah) dan nenek (dari pihak ibu). Mengapa saya mau melakukannya? Padahal untuk seukuran anak kecil seperti saya, ritual-ritual yang dilakukan, termasuk lebih berat daripada ibadah wajib itu sendiri. Contoh: Dzikir-dzikir yang berjumlah ribuan, puasa sunnah, yasinan yang diulang-ulang, sholat sunnah seperti sholat tasbih yang pelaksanaannya cukup lama karena saking ribet dengan bacaan-bacaannya.
Saya tidak mempermasalahkan apakah hal ini dicontohkan oleh Rosululloh saw atau tidak. Karena mungkin memang tidak kepikiran sampai situ. Yang pasti orang-orang tua saya melakukan hal itu. Kembali kepada pertanyaan tadi, kenapa saya waktu itu mau menjalankannya? Karena mereka selalu menceritakan balasan-balasan yang akan saya dapat baik itu selagi di dunia maupun nanti di akherat (fadilah).
Sebagai anak kecil yang membutuhkan imajinasi. Cerita mengenai surga dengan segala isinya, seakan-akan khayalan dunia dongeng yang amat dirindukannya. Saya masih ingat ketika kakek saya membelikan saya buku kumpulan doa. Saya baca tiap judul doanya, lalu saya hapalkan doanya. Apa yang saya bayangkan saat itu? Mantera. Saya membayangkan bahwa doa yang saya ucapkan adalah mantra ajaib yang bisa mengabulkan apa yang saya minta.
Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan pola pikir saya saat itu. Ya, namanya juga anak kecil. Tapi jangan dikira apa yang saya lakukan itu tidak berdampak. Kebiasaan ibadah ritual yang dilakukan terus menerus mampu juga membekas dan mencetak jiwa. Keyakinan saya kepada Alloh swt yang akan mengabulkan segala doa-doa membekali perjalanan hidup saya selanjutnya. Selalu sadar hidup dalam pengawasan Alloh swt dan yakin tak ada yang bisa terjadi tanpa seizin-Nya menjadi landasan saya dalam melangkah.
Seiring dengan kedewasaan akal, saya pun mendapat pendidikan agama dengan pendekatan yang lain. Katakanlah, pendekatan dengan sistem mentoring yang diterapkan di kampus-kampus. Di situ saya banyak berdikusi tentang berbagai hal tentang agama (Akidah, syariah dan akhlak). Tak ada yang salah dengan kedua pendekatan di atas (gaya pesantrenan) dengan gaya mentoring. Saya merasa apa yang saya terima selama ini begitu saling melengkapi. Dengan diskusi-diskusi membuat saya merasa keyakinan-keyakinan yang selama ini tidak terbahasakan menjadi terjawab sudah. Dan itu lebih menguatkan pengenalan saya kepada Alloh sebagai Tuhan dan Islam sebagai pegangan hidup.
Ada rasa sedih dan khawatir ketika anak-anakku agak melalaikan ibadah ritual terutama tentu saja yang wajib. Ada pertanyaan di benak saya. Apa mereka terlalu kecil untuk memahami rasa takut kepada Tuhan tatkala mereka dengan santainya tidak melakukan ibadah wajib? Lantas bagaimana pertanggungjawaban mereka nanti di hadapan Alloh swt, padahal secara syariat mereka sudah termasuk umur baligh? Apakah saya sebagai orang tua yang terlalu longgar kepada mereka? Saya sebagai ibu, sebagaimana disabdakan oleh rosul “Ummi madrosatun”, merasa gelisah kalau seandainya anak-anak yang selama ini diasuhnya akan menjadi liar tidak mengindahkan ajaran-ajaran tuhannya.
Seperti anak gadisku (yang selama ini mendapat pendidikan agama secara mentoring), bilang: “Aku belajar agama tuh dengan otak, supaya bisa memahami secara sistematis. Aku bilang: “Ya, tapi saat nafsu kita mendominasi, jangan sampai otakmu secara sistematis pula melakukan bantahan-bantahan.”
Berbeda dengan masa kecilku yang “nerimo” saja apa kata orang tua. Asal kata orang tua itu benar, bagus. Tanpa banyak cing-cong, ya dijalani saja. Saya kira saya harus mengkombinasikan kedua pendekatan itu kepada anak-anakku seperti yang aku jalani selama ini. Mudah-mudahan tidak ada kata terlambat. Karena, the real is Alloh, Sang Maha Pendidik.

Catatan: Keterbatasan penulis akan pengetahuan beberapa istilah, memungkinkan beberapa istilah salah dalam penempatannya. Mohon maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...