Mendiskusikan wacana tentang pemahaman akidah yang harus dimiliki setiap  muslim dengan anak gadisku. Saya melihat ada perbedaan pendekatan yang  saya alami pada masa kecil dengan pendekatan yang dialami oleh anakku.
      Masa kecil saya tinggal di lingkungan pesantren. Saya mengenal  Tuhan melalui ritual-ritual yang diajarkan guru-guru ngaji saya termasuk  juga kakek (dari pihak ayah) dan nenek (dari pihak ibu). Mengapa saya  mau melakukannya? Padahal untuk seukuran anak kecil seperti saya,  ritual-ritual yang dilakukan, termasuk lebih berat daripada ibadah wajib  itu sendiri. Contoh: Dzikir-dzikir yang berjumlah ribuan, puasa sunnah,  yasinan yang diulang-ulang, sholat sunnah seperti sholat tasbih yang  pelaksanaannya cukup lama karena saking ribet dengan bacaan-bacaannya. 
      Saya tidak mempermasalahkan apakah hal ini dicontohkan oleh  Rosululloh saw atau tidak. Karena mungkin memang tidak kepikiran sampai  situ. Yang pasti orang-orang tua saya melakukan hal itu. Kembali kepada  pertanyaan tadi, kenapa saya waktu itu mau menjalankannya? Karena mereka  selalu menceritakan balasan-balasan yang akan saya dapat baik itu  selagi di dunia maupun nanti di akherat (fadilah). 
      Sebagai anak kecil yang membutuhkan imajinasi. Cerita mengenai  surga dengan segala isinya, seakan-akan khayalan dunia dongeng yang amat  dirindukannya. Saya masih ingat ketika kakek saya membelikan saya buku  kumpulan doa. Saya baca tiap judul doanya, lalu saya hapalkan doanya.  Apa yang saya bayangkan saat itu? Mantera. Saya membayangkan bahwa doa  yang saya ucapkan adalah mantra ajaib yang bisa mengabulkan apa yang  saya minta.
      Sekali lagi, saya tidak mempermasalahkan pola pikir saya saat itu.  Ya, namanya juga anak kecil. Tapi jangan dikira apa yang saya lakukan  itu tidak berdampak. Kebiasaan ibadah ritual yang dilakukan terus  menerus mampu juga membekas dan mencetak jiwa. Keyakinan saya kepada  Alloh swt yang akan mengabulkan segala doa-doa membekali perjalanan  hidup saya selanjutnya. Selalu sadar hidup dalam pengawasan  Alloh swt  dan yakin tak ada yang bisa terjadi tanpa seizin-Nya menjadi landasan  saya dalam melangkah.
      Seiring dengan kedewasaan akal, saya pun mendapat pendidikan agama  dengan pendekatan yang lain. Katakanlah, pendekatan dengan sistem  mentoring yang diterapkan di kampus-kampus. Di situ saya banyak  berdikusi tentang berbagai hal tentang agama (Akidah, syariah dan  akhlak). Tak ada yang salah dengan kedua pendekatan di atas (gaya  pesantrenan) dengan gaya mentoring. Saya merasa apa yang saya terima  selama ini begitu saling melengkapi. Dengan diskusi-diskusi membuat saya  merasa keyakinan-keyakinan yang selama ini tidak terbahasakan menjadi  terjawab sudah. Dan itu lebih menguatkan pengenalan saya kepada Alloh  sebagai Tuhan dan Islam sebagai pegangan hidup.
      Ada rasa sedih dan khawatir ketika anak-anakku agak melalaikan  ibadah ritual terutama tentu saja yang wajib. Ada pertanyaan di benak  saya. Apa mereka terlalu kecil untuk memahami rasa takut kepada Tuhan  tatkala mereka dengan santainya tidak melakukan ibadah wajib? Lantas  bagaimana pertanggungjawaban mereka nanti di hadapan Alloh swt, padahal  secara syariat mereka sudah termasuk umur baligh? Apakah saya sebagai  orang tua yang terlalu longgar kepada mereka? Saya sebagai ibu,  sebagaimana disabdakan oleh rosul “Ummi madrosatun”, merasa gelisah  kalau seandainya anak-anak yang selama ini diasuhnya akan menjadi liar  tidak mengindahkan ajaran-ajaran tuhannya. 
      Seperti anak gadisku (yang selama ini mendapat pendidikan agama  secara mentoring), bilang: “Aku belajar agama tuh dengan otak, supaya  bisa memahami secara sistematis. Aku bilang: “Ya, tapi saat nafsu kita  mendominasi, jangan sampai otakmu secara sistematis pula melakukan  bantahan-bantahan.”
      Berbeda dengan masa kecilku yang “nerimo” saja apa kata orang tua.  Asal kata orang tua itu benar, bagus. Tanpa banyak cing-cong, ya  dijalani saja. Saya kira saya harus mengkombinasikan kedua pendekatan  itu kepada anak-anakku seperti yang aku jalani selama ini. Mudah-mudahan  tidak ada kata terlambat. Karena, the real is Alloh, Sang Maha  Pendidik.
 Catatan: Keterbatasan penulis akan pengetahuan beberapa istilah,  memungkinkan beberapa istilah salah dalam penempatannya. Mohon maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^