“Hey! Kamu masuk kamarku seenaknya saja! Hey! Hey! Mau dibawa kemana kamusku?”
“Enak saja kamu bilang ini kamusmu! Ini kamusku juga, tahu!”
“Ya. Tapi kamu tidak bisa mengambil seenaknya barang yang ada di kamarku!!”
Pagi-pagi sekali sudah kudengar keributan itu dari dapur tempat aku menyiapkan sarapan. Kulihat dari dapur, Ade keluar dari kamar Kaka membawa kamus Bahasa Inggris-nya Jhon H. Echolls. Warna belang-belangnya yang menyolok tidak bisa tertutupi oleh dekapan tangannya.
Begitu Ade melihatku, seakan-akan dia punya kesempatan untuk menumpahkan kemarahannya karena sudah dimarahi kakaknya.
“Coba kalau kami dibelikan masing-masing satu kamus,” semprotnya di depanku. “Kamus ini selalu saja dikuasai dia!”
Jujur aku merasa marah melihat sikapnya yang kelewatan. Dia tidak boleh bersikap seperti itu kepada ibunya. Syukurnya, aku masih bisa berfikir mengenai prioritas. Sikapnya padaku boleh menjadi nomer dua untuk saat ini.
“Dengar! Kamu bicara pada Ibu dan ibu dengarkan. Ibu juga mau bicara. Kamu dengarkan.”
“Sekarang, kenapa Alloh memberi kita rezeki hanya untuk membeli satu kamus? Apa jadinya kalau Dia memberikan apa saja yang kita inginkan?”
“Yang terjadi, kita tidak akan menjadi pribadi yang lebih baik.”
“Kamu seenaknya saja masuk ke kamar kakakmu dan mengambil barang di ruangannya tanpa izin. Coba pikirkan, apakah itu etikanya?”
“Ya, tapi itu barangku juga,” Ade membuat pertahanan atas seranganku.
“Bukan itu yang akan kita bahas. Ibu tanya, sikap tadi benar tidak?”
Ade diam.
“Kalau sejak dulu Alloh memberi kamu dan kakakmu masing-masing satu kamus, mungkin tidak akan ada kejadian tadi yang menunjukkan ternyata kamu belum tahu cara beretika yang benar.”
“Sekarang Alloh hendak menunjukkan dan mendidikmu bahwa semarah apa pun kamu, kamu harus tetap menunjukkan diri sebagai seseorang yang beradab. Orang yang tidak bersikap sopan santun hanya akan menunjukkan derajatnya yang hina. Ibu yakin, kamu tidak begitu.”
“Ya, sudah. Sekarang pakai kamus itu. Tapi jangan lupa, pikirkan ucapan ibu. Bersikaplah dengan cara yang baik pada siapapun. Karena kamu pun pasti tidak suka diperlakukan seenaknya. Saat ini ego-mu mungkin berhamburan mengajukan bantahan. Tapi jujurlah pada diri sendiri, bahwa ucapan ibu tadi adalah benar adanya.”
Ade pergi menuju kamarnya sambil masih menunjukkan muka tidak sedap. Aku tidak kecewa. Karena dia memang tidak harus berubah saat ini juga. Tapi aku yakin, dengan selalu mengingatkannya, nasehat itu pasti tercetak di hatinya. Dan akan muncul dengan indah pada waktunya. Insya Alloh…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^