Jumat, 05 November 2010

(ORDINARY MOM) BIARLAH MEREKA BAHAGIA SAJA DI HARI TUA

Peristiwa ini terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Sering sekali aku menelepon mamahku malam-malam di atas jam 20.00. Alasan pertamanya adalah karena biaya interlokalnya lebih murah. Sedangkan alasan keduanya, aku merasa butuh curhat setelah seharian menghadapi berbagai kesibukan di rumah tanggaku.

Masalah seputar anak-anak, bingung sama kenaikan harga-harga sembako, kesel sama tetangga, dan segala macam tetek bengek keluh kesah lainnya. Mamahku selalu siap menjadi pendengar yang setia. Sebetulnya aktivitas itu, entah menyelesaikan masalah atau tidak. Yang pasti, dadaku terasa lebih ‘plong’ setelah semuanya dikeluarkan.

Kadang aku berpikir, rasanya aku belum bisa mandiri seutuhnya dengan selalu curhat kepada mamahku. Aku merasa mempunyai ketergantungan kepada beliau. Padahal mungkin tidak bisa selamanya aku begitu. Pada suatu saat aku pasti harus mencoba menghentikannya. Tapi kapan? Entahlah, rasanya aku belum siap.

Malam itu seperti biasa, aku telepon mamahku. Dari suaranya aku tahu, sepertinya mamahku kurang enak badan.

“Kenapa suaranya serak Mah?”

“Iya, Mamah lagi kurang enak badan, radang tenggorokkan mungkin.”

“Apih kemana?” Apih adalah panggilan untuk ayahku.

“Baru saja tidur. Kecapean, seharian di kebun.”

Ya, setahuku dari kecil, Mamah memang sering sekali kena radang tenggorokkan. Kalau sudah begitu, biasanya Mamah selalu pakai baju hangat dan sering tiduran atau duduk-duduk saja.

“Ada apa, Teh?” Tanya Mamah. Karena aku anak paling besar, hampir semua anggota keluarga memanggilku Teteh.

“Ah, nggak. Pengen ngobrol aja.”

Dan keluarlah 1001 keluh kesahku dengan deras. Di seberang sana, Mamah hanya merespon dengan ucapan iya-iya saja. Tapi itu tak menghentikan aliran curhatku. Diberi kesempatan bicara, mungkin malah menambah semangat curhatku tanpa takut dikejar pulsa. Sampai akhirnya…

Ngngngng…….

“Halo? Halo? Mah? Mah? Masih di situ?”

Tidak ada jawaban.

“Huh, dasar instalasi telepon jelek! Selalu saja ada gangguan.” Rutukku dalam hati. Kejadian seperti ini memang kerap terjadi. Sambungan telepon putus dengan tiba-tiba. Atau memang tidak bisa nyambung selama berhari-hari.

Orang tuaku tinggal di luar kota yang cukup terpencil, sehingga kadang menyulitkan petugas telepon melakukan perawatan dan pengawasan terhadap instalasi pesawat telepon. Kejadian pencurian kabel telepon bahkan sering sekali terjadi. Dan itu yang membuat kami sering tidak bisa saling berhubungan satu sama lain. Sedangkan komunikasi memakai handphone, pada saat itu pulsanya masih terlalu mahal bagi kami.

Mamah dan Apih memang hanya tinggal berdua. Saya dan kedua adikku sudah berumah tangga dan tinggal di lain kota. Dan karena berbagai kesibukkan, maka teleponlah sarana kami untuk tetap saling berkomunikasi.

Karena hubungan telepon terputus, aku putuskan untuk menutup gagang teleponku dan segera tidur menyusul suami dan anak-anakku yang sudah terlebih dulu terlelap. Kulirik jam dinding, hampir menunjukkan pukul 22.00. Wah, berarti aku tadi ngobrol sampai 1 jam lebih sama Mamah. Gak kerasa banget! Karena kantuk sudah menyerang, maka aku pun segera terlelap.

Kriiing…kriiing…. Suara telepon membangunkanku. Sambil setengah mengantuk aku melihat jarum jam menunjukkan pukul 01.00 dini hari.

“Siapa sih, yang nelpon malam-malam gini?” omelku dalam hati.

Tapi tak urung, kuangkat juga gagang telepon.

“Halo? Siapa ini?”

“Teteh! Si Mamah jatuh! Ditemukan sama Apih jam 11.00 malam udah ga sadar di depan lemari telepon dan kepalanya berlumuran darah. Kemungkinan Mamah pingsan saat nerima telepon, soalnya gagang telepon menggantung ke bawah lemari.” Terdengar suara panik adik bungsuku di ujung telepon sana.

Deg. Seluruh tubuhku terasa beku. Keringat dingin bermunculan di pelipisku. Dengan dada sesak, aku mencoba bicara pada adikku.

“Din, sebenarnya yang nelpon tadi itu Teteh. Teteh kira teleponnya rusak, jadi Teteh tutup saja teleponnya. Tapi terus terang, sekarang Teteh belum sanggup buat nelpon Apih. Sekarang bagaimana keadaan Mamah?”

Rupanya adikku memahami betul rasa takut tengah menguasaiku. Alhamdulillah, dengan bijak dia bisa memakluminya.

“Ya, sudah. Teteh tenangkan diri dulu. Mengenai keadaan Mamah, karena Apih tidak bisa menghentikan aliran darah di kepala Mamah, jadi dia minta tolong tetangga. Kebetulan, menantunya tetangga yang seorang perawat lagi ada di situ. Jadi, bisa melakukan pertolongan.”

“Memang peralatannya ada?” tanyaku ingin tahu lebih jelas.

“Perawat itu nyuruh Apih nyari ojek supaya ke Puskesmas ngambil peralatan. Penjaga Puskesmasnya kan tinggal di samping Puskesmas. Sekarang kulit kepala Mamah udah dijahit dan Mamah udah sadar lagi. Apih juga baru kepikir ngasih tau aku barusan setelah Mamah beres dirawat. Terus aku disuruh ngasih tau Teteh dan Aa. Udah dulu ya, Teh. Sekarang aku mau nelpon Aa.”

Dengan perasaan yang tidak menentu dan tangan gemetar, aku simpan gagang telepon. Aku menghela napas dalam-dalam untuk lebih meringankan rasa berat di dadaku. Berat oleh rasa penyesalan yang begitu mendalam. Masya Alloh, kasihan sekali Mamah. Kebayang ketika Mamah merasa pegal dan pusing menerima teleponku tadi. Ya Robbi…, ampunilah aku…

Pesawat telepon Mamah memang diletakkan di atas lemari setinggi pinggang. Jadi, kalau nerima telepon ya, harus berdiri. Rupanya badan Mamah sudah tidak kuat lagi. Namun apa daya, rasa kasih sayang kepada anaknya membuat Ia berusaha sekuat tenaga melayani teleponku. Dan pada puncaknya, Ia jatuh pingsan. Dan kemungkinan, kepala Mamah membentur sudut dudukan kulkas yang terbuat dari besi yang letaknya di samping lemari telepon.

Sampai pagi, aku tidak bisa tidur lagi. Air mataku terus mengucur dengan deras. Suamiku bilang, besok pagi kita akan menengok Mamah. Namun, waktu rasanya berjalan lambat sekali. Matahari seakan-akan menjadi lambat untuk terbit. Padahal, ingin sekali aku segera bertemu Mamah. Aku akan bersimpuh di kakinya sambil memohon maaf atas kebodohanku yang teramat sangat! Pada diriku sendiri, aku berjanji. Aku tidak akan membebani pikiran Mamah lagi dengan masalah-masalah hidupku. Aku harus bisa menyelesaikan masalah tanpa perlu ngeluh kesana-kemari. Ya, aku harus bisa tegar, setegar batu karang! Biarlah Mamah menikmati hari tuanya dengan hanya melihat senyum di bibir kami anak-anak dan cucu-cucunya.

* Mamah, maafin teteh ya, Mah...hiks...:'(((

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...