Hari ini
ibu-ibu banyak mendapat ucapan selamat. Sebagai seorang ibu, saya jadi
mikir-mikir tentang ke-ibu-an saya. Apakah saya jadi ibu hanya karena punya
anak? Apakah saya jadi ibu karena sudah menjalankan fungsi-fungsi seorang ibu?
Ataukah saya menjadi ibu karena anak-anak saya merasakan betul sosok ibu dari
diri saya? Lanjut mikir lagi. Kalau anak-anak merasakan sosok ibu pada diri
saya, apakah itu karena saya menjalani fungsi ibu sebatas insting? Ataukah saya
memahami betul yang menjadi tugas saya kemudian menerapkannya di keluarga?
Haha...jadi kebanyakan mikir ah!
Tapi, saya
memang selalu mengupayakan begitu. Segala sesuatu diawali dengan pemikiran.
Jadi berangkatnya gak asal jalan. Jelas niatnya dan jelas tujuannya. Idealnya,
niatnya ibadah, tujuannya mardhotillah.
Berangkat
dari pemikiran itu, saya mencoba berdiskusi dengan anak yang sudah remaja dan
juga suami pada waktu berbeda. Saya ingin mendengar pendapat mereka atas apa
yang selama ini saya lakukan sebagai seorang ibu. Saya ingin tahu apakah selama
perjalanan hidup saya menjadi ibu, saya melakukan sesuatu untuk anak-anak
ataukah saya hanya orang yang beruntung karena oleh Allah dianugerahi anak-anak
yang “tidak bermasalah”. Eh, tapi benarkah anak-anak saya tidak memiliki
masalah? Hmm...kalau benar seperti itu, mungkin saya tidak akan repot-repot
amat menjadi orang tua ya.
Saya bisa
saja menyalahkan faktor ekonomi yang menyebabkan kerepotan. Coba kalau punya
cukup uang, tentu saya bisa menggunakan jasa baby sitter dan asisten rumah
tangga. Bisa memasukan anak ke les-les tertentu sesuai bakat dan minat anak
sehingga anak tidak merasa bosan dan uring-uringan terus di rumah. Tapi
untungnya saya tidak berpandangan seperti itu. Saya berpatokan bahwa Tuhan itu
Maha Adil. Dia memberikan kehidupan kepada kita itu satu paket. Jika kita tidak
dimampukan di satu sisi, pasti kita dimampukan di sisi yang lain.
Kembali ke
soal anak-anak yang “bermasalah”. Sebetulnya saya merasa bersalah mengucapkan
hal ini. Karena setiap saya menemukan masalah berkaitan dengan anak saya, saya
selalu memandang saya lah yang sebenarnya bermasalah. Sayalah yang tidak paham
anak saya.
Ketika Teteh,
anak pertama saya lahir, saya begitu gagap. Padahal Teteh itu memiliki banyak
kelebihan. Pertumbuhan motorik, sensorik dan bahasanya cepat. Kognitifnya juga
unggul. Di usia TK, Teteh sudah hapal juz amma. Tidak ada alasan untuk tidak
bangga padanya. Tapi kenapa saya pernah melakukan kesalahan-kesalahan dalam
mensikapinya. Nyata betul sayalah yang bermasalah. Saya sebagai orang tua baru,
betul-betul blank pengetahuan tentang psikologi anak. Tapi dari situ saya
belajar banyak hal. Seperti ternyata anak itu bukan orang dewasa dengan fisik
mini. Tapi sepintar-pintarnya anak, tetaplah mereka anak yang polos dan butuh
disayang-sayang (Haduh...segitunya ya saya T_T).
Ketidaknyamanan
dalam interaksi saya dengan Teteh menjadi pelajaran ketika saya dianugerahi
Uni, anak kedua. Uni hadir dengan kondisi mental keibuan saya lebih matang dari
sebelumnya. Saya siap menerima dia apa adanya. Karakter Uni berbeda sekali
dengan Teteh. Di usia anak yang biasanya cerewet, Uni malah jarang sekali
bicara. Respon fisiknya pun lambat. Padahal tubuhnya lumayan berisi dan berat
badannya normal. Kebetulan kondisi perekonomian keluarga kami saat itu sedang
rendah-rendahnya, hingga saya mengiyakan saja saat seorang saudara bilang,
mungkin lambatnya Uni bicara karena kurang gizi. Waktu itu saya bilang, seperti
apapun jadinya anakku, aku menerima, aku akan bahagia dan aku pasti
menyayanginya. Sambil nangis-nangis dan meluk Uni tentunya :D
Ketika Uni
masuk usia sekolah, saya sulit sekali mengajarkan hapalan. Saya sudah melakukan
berbagai upaya seperti menempel bahan-bahan pelajaran di dinding untuk
mempermudah Uni menghapal. Namun tidak ada hasil. Apa yang dulu begitu mudah
diajarkan pada Teteh, tidak ada hasilnya pada Uni. Bukannya saya menyerah, saya
menghentikan seluruh usaha saya dengan asumsi bahwa setiap anak itu berbeda.
Saya tidak ingin keceriaan Uni hilang gara-gara saya memiliki target Uni harus
seperti Teteh.
Tanpa saya
tahu kelebihan Uni, saya biarkan Uni menikmati keceriaan demi keceriaan di
sekolahnya. Dia bahagia bersekolah, itu sudah cukup. Dia saja tidak merasa
bermasalah, kenapa saya yang harus bermasalah?
Lambat laun
Uni menemukan potensi dirinya. Ia suka sekali membaca. Semua buku dibacanya.
Dahaganya akan ilmu pengetahuan tidak terbendung. Buku-buku pelajaran milik
kakaknya semua dibaca juga. Ketika SMP, dia sudah membeli buku-buku pelajaran
hingga tingkat SMA.
Tadi saya
tanya ke Uni, kenapa kamu bisa berkembang seperti itu? Jawaban Uni, “Mungkin
karena Ibu memberi kesempatan sama aku untuk berkembang. Ibu tidak fokus pada
kekurangan aku. Ketika aku sulit menghapal, ibu tidak lantas memasukan aku ke
tempat les. Dan karena Ibu tidak tahu kelebihan aku, jadinya ibu tidak mem-push
aku. Tapi justru karena itulah aku memiliki kesempatan berkembang.”
Haha...betulkah
saya sepintar itu? Rasanya apa yang saya lakukan hanya mengandalkan insting.
Tapi saya bersyukur saja kalau ternyata tindakan saya benar.
Bagaimana
dengan anak ketiga? Aa, anak ketiga saya juga memiliki karakter pendiam. Waktu
kecilnya sering mendapat bully karena pendiamnya itu. Jika Teteh selalu
berprestasi dan Uni selalu bersemangat sekolah, Aa justru seperti tidak
berminat dalam hal apapun (Haduh...cobaan apalagi ini?). Ketika didaftarkan ke
sekolah TK pun, saya sampai harus membahasakan pada Aa bahwa ini bukan
‘sekolah’. Tapi ‘bermain yang dipimpin supaya semua kebagian tempat bermain’.
Kembali saya katakan pada diri saya, bukan anak yang bermasalah. Anak sudah
terlahir seperti itu. Tuhan sudah membuatnya seperti itu. Saya yang harus
memahami mereka. Kalau sayanya malah ruwet, berarti saya yang memiliki masalah.
Waktu Aa
pertama kali dibagi raport di SD, saya pernah menyesal karena menanyakan
rankingnya pada Ibu Guru. Dengan santai Ibu Guru menjawab kalau Aa ranking
terakhir di kelas. Bagi Ibu Guru yang mengerti perkembangan anak, posisi
ranking terakhir bukan masalah. Anak sedang dalam masa perkembangan kok. Tapi
bagi saya yang waktu itu belum paham dan biasa mendapatkan pujian atas prestasi
Teteh dan Uni, rasanya tuh seperti tersengat listrik mulai dari ubun-ubun
hingga ujung kaki.
Sejak saat
itu saya tidak terlalu memperhatikan kekurangan akademik Aa. Saya sudah
bersyukur ketika Aa mau sekolah dan bisa bersosialisasi dengan teman-temannya.
Aa bahagia sekali memiliki teman-teman yang baik pada dirinya. Ibu guru bilang,
teman-teman Aa baik karena Aa juga anaknya baik. Aa tipe anak yang merangkul
semua orang. Ketika Aa menjadi ketua kelompok, Aa malah dengan senang hati mengerjakan
semua tugas teman-teman satu kelompoknya (#haha jangan dicontoh).
Entah karena
sering dijadikan ketua kelompok atau telaten mengerjakan tugas, akhirnya jiwa
kepemimpinan Aa tumbuh dan kemampuan akademik Aa berkembang pesat. Sekali lagi
saya bertanya, kira-kira peran apa ya yang saya lakukan hingga Aa bisa
berkembang? Rasanya justru saya tidak melakukan apa-apa selain membiarkan
anak-anak berbahagia menjadi dirinya. Biarkan mereka melakukan aktifitas positif yang
disukainya.
Lain lagi
dengan anak keempat, kelima dan keenam. Ketiga anak itu sudah memperlihatkan
kelebihannya sejak kecil. Namun karena kelebihannya itulah, orang di sekitarnya
sering menganggap ia “bermasalah”.
Kakak, anak
keempat. Sejak kecil sudah menunjukkan anak yang keras. Saat umur 3 tahun Kakak
punya gaun warna pink dengan sederetan kancing di bagian belakang. Dia berusaha
memasukan kancing-kancing itu pada lubangnya tanpa mau dibantu. Selama satu jam
Kakak menangis tanpa menghentikan aktifitas mengancingkan bajunya itu. Dan
akhirnya dia berhasil.
Karena
kemandiriannya yang terlalu cepat itulah kadang menjadikan kakak-kakaknya
kesal. Dia tidak pernah mau dipegang tangannya saat berjalan di jalan raya.
Padahal kakaknya khawatir akan keselamatannya. Dia juga tidak pernah
terpengaruh dengan ejekan teman dan paling jago membalikan ejekan. Tanpa dia
sadari, kelebihannya itu sering menjadikan dia bermasalah dengan
saudara-saudaranya. Kakak-kakaknya protes pada saya, “Kenapa Ibu sayang sama
dia? Padahal dia itu bandel!”
Saya tertawa.
Kata saya, kalian tidak tahu, ‘bandel’ adikmu itu bukanlah mencirikan dia anak
bermasalah. Justru itu adalah sebuah kelebihan. Menjadi masalah adalah karena
kelebihannya itu belum menemukan tempat yang tepat. Kita hanya tinggal
menunggu. Ketika dia menemukan tempat yang tepat, maka bersiaplah kita akan
melihat sesuatu yang hebat dari dirinya.
Abang, anak
kelima memiliki kelebihan dalam menyimpan data. Kami selalu menyebut dia ‘wikipedia
berjalan’. Pada umumnya dia bisa menjawab apa saja yang kita tanyakan. Ketika
kita di perjalanan pun, tidak usah khawatir tersesat. Kita bisa tanya dia ini
jalan apa atau harus keluar dari gerbang tol mana, kejadian terkini di
sepanjang perjalanan, kondisi lalu lintasnya bagaimana, kecelakaan di mana
saja, dll. Kita juga bisa tanya dia kapan jadwal shalat, ibu kota tiap
provinsi, kebijakan-kebijakan pemerintah terbaru, pemilik saham
perusahaan-perusahaan besar, tanggal lahir sanak saudara, dan lain-lain. Abang
sudah bisa membaca dengan lancar sejak usia 3 tahun. Sejak umur itulah dia
mengisi memorinya dengan data-data.
Lantas
masalahnya apa? Hmm...saya belum begitu tahu selain kemampuan motorik kasarnya
yang kurang dan sensitifitasnya yang agak dominan. Tapi kenapa pula harus
memikirkan kekurangannya? Untuk umur Abang yang baru 10 tahun, biarlah dia
mengembangkan dulu kelebihan-kelebihannya itu.
Lain lagi
dengan Ade, anak keenam. Kelebihannya itu sering membahayakan dirinya dan orang
yang berada di dekatnya. Bagi Ade, hidup ini adalah mencapai tujuan. Tidak ada
halangan dan rintangan. Jika tujuan sudah jelas, mau di depannya ada gunung,
tidak masalah. Dia akan menabraknya untuk mencapai tujuannya. Ade tidak pernah
takut apapun. Dia tidak pernah dikuasai oleh keadaan. Dia yang menguasai. Namun
disitulah Ade sering mendapat masalah. Tubuhnya sering kena luka,
teman-temannya sering kena senggol.
Apakah Ade
anak bermasalah? Sekali lagi saya bilang, tidak! Bagi saya, karakter Ade adalah
kelebihan. Saya tidak boleh menghentikan Ade. Justru saya harus memberikan
ruang seluas-luasnya untuk mengembangkan kelebihannya itu tanpa membahayakan
diri dan lingkungan sekitarnya.
Hehe...
sepertinya saya bercerita terlalu jauh kesana-kemari. Padahal sebetulnya saya
kan hanya ingin bertanya, apa sih yang sudah saya lakukan sebagai seorang ibu
untuk anak-anak saya? Sampai detik ini sebenarnya saya masih bingung. Mungkin
memang benar, hanya karena kebaikan Allah-lah, anak-anak saya terlahir tanpa masalah.
Dan memang tidak ada anak “bermasalah”. Jika saya menganggap ada masalah, itu
artinya saya lah yang bermasalah.
Tulisan ini pernah diposting sebagai status facebook dalam rangka menyambut Hari Ibu 22 Desember 2016