“Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (Q.S. Al
Kahfi: 7)
Cinta
menyimpan berjuta pesona dalam kehidupan, sehingga dengan cinta, apa yang ada
akan terasa indah. Jalaluddin Rumi menggambarkan dahsyatnya cinta sebagai
berikut.
“Cinta
dapat mengubah rasa pahit getir menjadi semanis madu. Cinta bisa mengubah tanah
lempeng menjadi bongkahan permata. Cinta sangat mudah mengubah kekeruhan hidup
menjadi bening yang menyejukkan. Dengan cinta, luka yang menganga menjadi
sembuh seketika. Sakit yang teramat menyiksa menjadi tak terasa. Dengan cinta,
bongkahan baja bisa menjadi lebur. Batu yang kokoh dapat menjadi debu. Cinta
dapat menghidupkan kembali manusia yang telah mati.”
Dengan
cinta seseorang akan melakukan apa saja demi sang bidadari yang dicinta. Demi
sesuatu yang dipujanya, baik dan buruk, hitam dan putih, halal dan haram akan
dilakukan. Inilah yang disebut cinta bak pisau bermata dua. Di satu sisi dapat
mengantarkan seseorang pada cinta yang sesungguhnya dan di sisi yang lain dapat
menjerumuskan pada cinta yang salah, yang mengantarkan pada kesengsaraan.
Naudzubillahimindzalik.
Allah
swt. berfirman,
“Adapun orang yang
melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, sesungguhnya nerakalah
tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya
dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah
tempat tinggalnya. (Q.S. An Naziat: 37-40)
Lantas
cinta seperti apakah yang bisa menjadi rujukan orang-orang beriman?
Sesungguhnya manusia-manusia pilihan Allah yang pernah tercipta di muka bumi ini
sudah memberi uswah. Contohnya, cinta manusia pertama, Adam dan Hawa.
Keberkahan cinta Ibrahim, Sarah dan Hajar. Kekuatan cinta putri Syu’aib dan
Nabi Musa. Keagungan cinta Raja Sulaiman dan Ratu Bilqis. Keindahan dan
keabadian cinta Yusuf dan Zulaikha. Serta jangan lupa pesona cinta Rasulullah
saw. dan isteri-isterinya: Khadijah r.a., Saudah r.a, Aisyah r.a., Hafshah
r.a., Zainab binti Jahsy r.a., Ummu Salamah r.a., Shafiyyah binti Huyay r.a.,
Ummu Habibah Ramlah r.a., Juwairiyyah r.a., Maimunah r.a. dan Mariyah Al
Qibthiyyah r.a.
Dari
kisah-kisah itu kita bisa melihat bahwa cinta dari manusia-manusia utama itu
merupakan cinta yang berlandaskan iman kepada Allah swt. Cinta yang
terpelihara. Cinta yang bukan bermuara dari nafsu dan berujung pada kenistaan.
Namun cinta yang memberi energi dan support pada perjuangan fisabilillah.
Manakala cinta itu tidak ada dalam bingkai ilahiyah, maka tanpa kompromi mereka
sudah pasti menolaknya.
Dengan
membaca dan memerhatikan secara seksama kehidupan cinta manusia-manusia pilihan
di atas, maka kita bisa mendapat tarbiyah cinta sebagai rujukan kehidupan cinta
orang-orang beriman. Kita bisa melihat bagaimana manusia-manusia agung
menempatkan dan menggunakan cinta dengan tepat. Kita bisa mendapat pengajaran
tentang bagaimana meletakan cinta di antara adab, hak dan kewajiban sebagai
suami isteri. Kita bisa mengetahui solusi dan hikmah dibalik risalah cinta para
nabi tersebut.
Satu
contoh, cinta Rasulullah saw. dan Khadijah r.a. Kita bisa melihat gambaran
cinta yang begitu apik dan memesona. Diawali dari proses pinangan Khadijah r.a.
pada Rasulullah saw. Di sini kita bisa melihat tidak ada yang salah apabila
pihak perempuan melakukan penawaran pernikahan lebih dahulu pada laki-laki.
Melalui Nafisah sahabatnya, Khadijah menanyakan kesediaan Muhammad untuk menikahi
dirinya. Tanpa memandang usia Khadijah yang lebih tua dari dirinya atau status
jandanya, Muhammad setuju atas tawaran itu. Muhammad tahu benar kemuliaan
akhlak Khadijah yang saat itu merupakan majikannya dalam berdagang. Beliau
lebih memandang kualitas pribadi Khadijah dibanding fisik dan materi yang bisa
lenyap kapan saja.
Setelah
keduanya sama-sama sepakat, maka diselenggarakanlah pernikahan antara Muhammad
dan Khadijah. Muhammad memberi mahar 20 ekor unta pada Khadijah. Kalau
diibaratkan sekarang, kira-kira berapa ya nilai 20 ekor unta? Kalau sapi besar
di Indonesia harganya Rp 20 juta saja, berarti mahar yang diberikan Muhammad
kepada Khadijah sekitar Rp 400 juta. Subhanallah, jumlah yang cukup fantastis
bukan? Hal itu beliau lakukan tiada lain demi untuk memuliakan isterinya, bukan
karena permintaan Khadijah. Kalau kita melihat status Khadijah sebagai majikan
Muhammad, tentu nilai mahar Muhammad hanya sebagian kecil dari kekayaannya.
Ya, meskipun Muhammad tidak sekaya Khadijah,
namun Muhammad adalah pekerja keras. Ia bekerja sejak kecil sehingga memiliki
penghasilan. Kesediannya menikah dengan Khadijah bukan lantaran silau oleh
kekayaan Khadijah. Dirinya pun sanggup mencari dan menanggung nafkah keluarga.
Selama
24 tahun rumah tangga Muhammad dan Khadijah, baik sebelum maupun sesudah masa
kerasulan, tidak pernah sekalipun Muhammad menduakan Khadijah. Bagi Muhammad,
keberadaan Khadijah di sisinya sudah melebihi dari yang diperlukan. Tersurat
dalam komentarnya pada Aisyah r.a. saat Aisyah merasa cemburu.
Dalam
sebuah riwayat, Aisyah r.a. mengisahkan, “Rasulullah saw. hampir tidak pernah
keluar rumah tanpa menyebut dan memuji Khadijah r.a. Hal itu membuatku cemburu.
Kukatakan, ‘Bukankah ia hanya seorang wanita tua renta dan engkau telah diberi
pengganti yang lebih baik daripadanya?’”
Mendengar
itu, Rasulullah saw. murka hingga bergetar bagian depan rambutnya. Beliau
berkata, ‘Tidak. Demi Allah, aku tidak pernah mendapat pengganti yang lebih
baik daripada Khadijah r.a. Ia beriman kepadaku ketika semua ingkar. Ia yang
memercayaiku tatkala semua orang mendustakanku. Memberiku harta pada saat semua
orang enggan memberi. Dan darinya aku memperoleh keturunan, sesuatu yang tidak
kuperoleh dari istri-istriku yang lain.’
“Maka
aku berjanji dalam hati untuk tidak mengatakan sesuatu yang buruk tentangnya
lagi.”
Dari
situ kita bisa melihat bagaiman kesan manusia agung tersebut pada Khadijah.
Isteri yang memberinya enam anak, yang mengerti setiap keresahannya saat
melihat keadaan lingkungan jahiliyah, yang memberi kesempatan berkhalwat untuk
menemukan hakikat hidupnya, yang menghibur dan membangkitkan pengharapannya
kala mendapat wahyu, yang rela ikut dikucilkan oleh kaumnya saat cahaya Islam
turun di antara mereka, yang ridha kekurangan sandang, pangan, papan dan
anak-anak perempuannya diceraikan suami-suami mereka saat diboikot, yang tidak
silau kala Muhammad saw. ditawari pangkat dan jabatan oleh para pejabat Quraisy
demi menghentikan dakwah.
Layaklah
ungkapan Rasulullah saw. saat seorang wanita mempertanyakan dirinya yang belum
menikah juga hingga sudah setahun setelah Khadijah r.a. wafat.
“Wahai
Rasulullah saw., mengapa engkau tidak menikah lagi?”
Seketika
itu pula, Rasulullah saw. terisak dan mengatakan, “Masih adakah orang yang bisa
kucintai setelah Khadijah?”
Subhanallah...
*Dicuplik dan disadur
dari e-book Syamiil Tab Built In: Pesona Cinta Manusia-Manusia Pilihan, karya
M. Surahman Az Zuhri, Lc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^