Sampai
berhari-hari saya memikirkan tema yang akan saya angkat dalam artikel tentang batik
ini. Entah kenapa saya tidak bisa melepaskannya dari pikiran saya. Saya merasa
harus menulis sesuatu tentang batik. Perasaan saya mengatakan bahwa…saya harus
peduli.
Yah,
terus terang saja bahwa saya bisa jadi termasuk orang yang awam tentang batik
atau kain batik. Saya tidak begitu tahu jenis-jenis batik dari berbagai daerah di
Indonesia. Mungkin saya hanya tahu bahwa batik itu ada batik tulis dan batik
cap. Batik
tulis lebih mahal harganya karena proses pembuatannya yang lebih rumit. Mengenai
proses pembuatan batik dan perawatan kain batik, saya pernah beberapa kali melihat di televisi
dan membaca di sebuah artikel batik online.
Akhirnya
saya bertanya pada diri saya, apakah saya sama sekali tidak memiliki hubungan
dengan yang namanya kain batik? Oops, tentu saja tidak seperti itu. Maka saya
pun mulai membuka-buka lemari pakaian saya. Apa yang saya temukan di sana?
Inilah dia.
1. Koleksi
baju batik
suami saya
Untuk kebutuhan acara-acara resmi seperti menghadiri undangan pernikahan, suami saya lebih suka mengenakan baju batik ketimbang jas. Bagi dia, berbatik lebih simple, ringan dan tidak gerah. Oleh karena itu, suami saya biasanya menyengajakan diri mengunjungi beberapa butik batik untuk mendapatkan baju batik yang diinginkannya.
2. Baju
batik
koleksi sendiri
Dari beberapa baju batik yang saya miliki, saya memiliki dua jenis pakaian batik. Pertama pakaian resmi. Yang kedua adalah daster. Yang dimaksud dengan pakaian resmi sebenarnya adalah kain batik yang saya sulap menjadi gaun atau rok hingga bisa saya gunakan untuk ke acara resmi. Saya memang termasuk orang praktis, tidak suka yang ribet-ribet. Jadi, ketika saya belanja batik, pasti kain tersebut saya jahit menjadi busana yang lebih praktis dipakai. Entah itu kain batik yang memang diperuntukkan untuk dijahit menjadi baju atau pun kain batik yang biasa digunakan sebagai kain bawahan padanan kebaya.
Mengenai daster, tentu tidak usah ditanyakan lagi. Sepertinya sudah menjadi hal umum bagi ibu-ibu di Indonesia dalam memanfaatkan kain batik ini menjadi baju daster sebagai pakaian harian di rumah. Daster dari kain batik ini memang nyaman dipakai.
3. Kain
batik
hadiah saat persalinan
Di antara tumpukan kain-kain flanel bayi saya, ternyata terselip beberapa lembar kain batik. Ada yang berbentuk sarung dan ada yang berjenis kain panjang. Semuanya saya dapatkan dari pemberian saudara atau teman saat saya melahirkan bayi. Awalnya saya sempat merasa aneh, di antara banyaknya hadiah persalinan seperti peralatan dan perlengkapan bayi modern, kok masih ada yang memberikan hadiah tradisional seperti ini. Belakangan saya merenung, ternyata memberi hadiah persalinan berupa kain batik adalah salah satu tradisi khas Indonesia yang tentunya merupakan kekayaan budaya yang tidak boleh hilang begitu saja.
4. Seprai,
sarung bantal dan guling batik
Seprai ini adalah seprai kenangan saya. Jauh-jauh saya dari Bandung datang ke salah satu toko batik di Pasar Bringharjo, Jogjakarta untuk membeli seprai khusus untuk pernikahan saya. Warna dasarnya hijau dengan motif bunga-bunga kecil keemasan. Sayang saya tidak bisa menampilkan gambarnya di sini karena kondisinya yang sudah kurang indah dipandang. Tapi saya tetap menyimpannya untuk kenang-kenangan.
Itulah
kain-kain batik yang saya dapati di rumah saya. Dari situ saya menyadari
ternyata berbatik merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan saya. Dan mungkin juga
sebagian besar masyarakat Indonesia lainnya. Tidak percaya? Coba deh tengok isi
lemari pakaian orang Indonesia. Setidaknya ada satu potong kain batik di
sana.
Pemikiran
saya berlanjut. Lantas, apa yang sudah saya berikan atas keberadaan batik
yang telah mewarnai bagian dari hidup saya ini? Memikirkan hal itu, ah, rasanya
saya jadi malu. Ya, selama ini ternyata saya hanya berperan sebagai ‘pemakai’.
Entah dengan alasan memakai batik karena enak dipakai atau suka motifnya.
Pernahkah
saya merasa bangga karena merasa memiliki batik? Omong-omong soal
kebanggaan atas budaya negeri sendiri, saya pernah merasa cemburu pada bangsa
Korea. Di Korea, semua hal yang berkenaan dengan budaya asli, begitu disanjung,
dipromosikan, dikemas hingga menarik bangsa lain untuk mengetahuinya lebih
dalam. Contoh makanan kimchi, pakaian tradisional hanbok dan lain-lain. Bahkan
artis-artis papan atas Korea ditunjuk sebagai duta untuk mengenalkan budaya
tersebut kepada bangsa-bangsa lain.
Kembali ke batik. Dari semua yang saya tulis ini, pada akhirnya saya ingin mengatakan bahwa sudah seharusnya saya (dan saya juga mengajak masyarakat Indonesia) menjadikan berbatik tidak hanya sekedar kebiasaan saja. Melainkan kita memang bangga dan merasa memilikinya. Dengan perasaan seperti itu, mudah-mudahan kita terpanggil untuk terus membudayakan dan melestarikannya.
Saya
khususkan pula untuk generasi muda penerus bangsa, yuk kita jadikan batik
ini sebagai citra kita. Citra positif bangga menjadi bangsa Indonesia yang kaya
budaya. Karena budaya adalah harta kita. Maka, mari kita jaga dan tampilkan di
pentas dunia. Batik tidaklah kuno. Batik adalah etnik. Dan etnik bisa jadi tren bila kita menjadikannya. Jadi, yuk berbatik!
Tulisan ini diikutsertakan dalam KONTES BLOG AKU BERBATIK
Tulisan ini diikutsertakan dalam KONTES BLOG AKU BERBATIK
Like Fan Page Berbatik |
Follow twitter Berbatik |
Haha... ini sih gue banget...
BalasHapusBerarti bener dong ya :)
BalasHapusSemoga berhasil ya, Bu.
BalasHapusMakasiiih...
HapusSaya lebih suka batik bertangan pendek, meskipun untuk ke kondangan. Lebih fresh dan nyaman dipakai.
BalasHapusApalagi di kondangan banyak orang ya, Pak. Bikin gerah hehe...
HapusSetuju Mbak, mari kita jadikan batik bukan hanya kebiasaan saja. Tapi kita pun harus merasa bangga dan memilikinya. Kalimat-kalimat itu bermakna sekali. Semoga sukses ya ngontesnya.
BalasHapusTerima kasih atas kunjungannya ya Mbak. Semoga sukses juga buat mbak :)
Hapussukses ya :)
BalasHapussalam kenal^^
Terima kasih mbak Vanisa.
HapusSalam kenal juga :)
batik Indonesia emang tiada duanya. bagus bagus ^^
BalasHapusMakasiih... :)
Hapus