Rabu, 09 Desember 2015

Gado-Gado Rumah Tangga



Tanggal 8 desember 1996, 19 tahun yang lalu merupakan hari bersejarah buat saya. Hari itu saya mengalihkan perwalian saya dari seorang ayah pada suami. Tidak ada habis-habisnya saya memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memberi saya bermacam-macam nikmat dalam mengarungi bahtera rumah tangga ini. Nikmat atas anugerah suami yang bertanggung jawab, anak-anak yang sehat, dan berbagai limpahan karunia lainnya. Sungguh tidak dapat dihitung banyaknya.

Meskipun begitu, seperti halnya rumah tangga lain, yang namanya ujian pasti selalu ada seperti problem dari luar, kesulitan ekonomi, anak dan pasangan sakit, dan sebagainya. Namun alhamdulillah, karena ternyata semua ujian itu hanyalah guncangan sementara yang menguji kesungguhan iman. Pada akhirnya Allah mengangkat kembali ujian itu dan mengembalikan keadaan pada ketenangan. Tinggal kita menilai, apakah kita bisa bersabar ataukah mesti memperbaiki diri lagi? Apapun hasilnya tentu harus kita sikapi dengan positif.

Yang saya rasakan, setiap ujian dalam kehidupan itu merupakan cara Allah memintarkan dan mendewasakan kita. Saya ingat saat awal menikah, saya bingung bagaimana harus memposisikan pasangan dalam setiap kasus. Misalnya ketika tetangga meminjam uang, eh kok saya jadi bingung ya? Dulu tidak pernah ada pertimbangan apa-apa dalam meminjamkan uang. Uang punya sendiri, kok. Tapi setelah menikah, apa harus seizin suami ya? *bingung :D *

Padahal ya padahal, saya baca-baca juga kok buku-buku persiapan pra nikah. Tapi pada prakteknya tetep saja suka bingung-bingung.

Begitu pula saat pertama kali dikaruniakan anak. Soal perawatan fisiknya sih oke-oke saja. Tinggal baca pengetahuan tentang perawatan bayi. Tapi menghadapi sikap bayi? Duh, ya ampuun... *bengong*

Sebelum menikah saya memang tidak pernah mengasuh bayi. Paling cuma gendong-gendong keponakan atau anak tetangga sebentar saja. Jadinya ya nggak tahu, kalau tangisan begini tuh maunya apa, tangisan begitu tuh pengennya apa. Namun alhamdulillah dengan berjalannya waktu, kini saya sudah lebih banyak tahu cara menghadapi anak. Contohnya, saya menemukan cara memperlakukan anak berdasarkan perbandingan rasa dan akal yang mereka miliki. Bayi berkomunikasi berdasarkan rasa maka saya pun harus melakukan pendekatan berdasarkan rasa pula. Semakin besar anak, daya akalnya bertambah. Nah, saya pun melakukan pendekatan sejauh akal yang dimiliki anak. Sisanya tetap menggunakan rasa. Bingung? Maafkaan... saya memang kurang bisa menjelaskan bahasa psikologi ini. *halah*

Intinya, sejumlah kebingungan yang saya alami dalam rumah tangga hanyalah indikasi bahwa saya harus terus belajar. Itu. Kalau tidak dikasih masalah, belum tentu saya mau belajar kan? :D

Oya omong-omong tentang rasa dan akal itu berlaku juga lho dengan pasangan *hihi...kepo lo* Iya, saat kita berinteraksi dengan pasangan pun, kita lihat momennya. Momen rasa atau momen akal? Semisal suami ngajak kita ngobrol suatu masalah yang harus dicari solusinya. Suami ngomong pakai akal, eh kita malah nanggapin pakai rasa. Hasilnya, kita malah jadi termehek-mehek karena tersinggunglah, tersindirlah, merasa tidak dihargailah dan berbagai perasaan negatif lainnya. Pernah? Pernah? Atau Pernah?

Saya sih pernah banget. Saya sendiri sering heran, kenapa setiap diajak ngobrol suami ujung-ujungnya malah berantem? Ternyata salahnya di situ. Suami ngomong pakai akal ya mestinya yang maen akal kita juga dong. Nah, kalau suami pengen romantis-romantisan atau sedang sakit ingin dilayani, maka cobalah pakai pendekatan rasa. Dijamin tambah disayang! *nasihat nenek*

Oya, banyak orang yang tanya pada saya, bagaimana sih caranya membesarkan 6 anak? Apa gak repot? Ya repot bin riweuh bin rempong lah... (saking repotnya jadi ada bin-binnya, beranak pinak). Tapi, punya 6 anaknya kan tidak sekaligus, bukan kembar 6. Yang satu lahir, yang satunya mulai gede. Kalau anak masih dua, tenaga kita juga masih kenceng. Saat anak ketiga lahir, anak pertama sudah mulai bisa mengurus diri, sudah bisa makan dan mandi sendiri, sudah bisa ngajak main adiknya yang kedua. Artinya anak nambah, ya kemandirian anak terdahulu pun nambah. Otomatis nambah? Ya nggak lah. Tentu kita persiapkan, kita program. Tapi ya semaksimal apapun usaha kita, Allah lah sebaik-baik pendidik. Jadi jangan lupa untuk selalu berserah diri dan terus memohon pertolongan-Nya.

Ada yang kepo dengan perekonomian rumah tangga saya? Hihi... Nggak sih, saya cuma pengen sharing saja. Jadi, pelajaran yang saya ambil dari perjalanan rumah tangga saya bahwa ternyata peningkatan perekonomian seseorang itu ada hubungannya dengan cara berpikir (mindset). Betul, masalah materi itu rejeki dari Allah. Tapi Allah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada manusia untuk mencari karunia-Nya kan? Nah, saat kita membatasi pikiran kita dengan berbagai alasan (belum butuhlah, tidak punya modallah, banyak hambatan lah, dan lain-lain), maka tertutuplah pintu-pintu rejeki di hadapan kita. Tetapi ketika kita membuka diri, mencari ilmunya, mau mendengar masukan orang (mendengar tidak sama dengan mengikuti ya) dan mengolahnya, maka pintu-pintu rejeki pun terbuka. Percaya? Percaya? Atau Percaya?

Oya jangan lupa, sering-sering shadaqah pada yang membutuhkan. Shadaqah apa? Shadaqah apa saja sekemampuan kita. Niatkan shadaqah dengan ikhlas dan hanya mengharap balasan dari Allah. InsyaAllah dalam waktu tidak lama, Allah akan membalasnya.

Hmm...apalagi ya? Eh, sudah dulu saja ah. Tadinya cuma mau nulis 300-400 word. Ini malah bablas ke 700-an. Mana waktu sudah menunjukkan pukul 0.23 lagi. Sekian saja ya, semoga bermanfaat. Ntar sharing lagi di lain waktu. C'u

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...