Tanggal 8 desember 1996, 19 tahun yang lalu merupakan
hari bersejarah buat saya. Hari itu saya mengalihkan perwalian saya dari
seorang ayah pada suami. Tidak ada habis-habisnya saya memanjatkan puji dan syukur
ke hadirat Allah swt. yang telah memberi saya bermacam-macam nikmat dalam
mengarungi bahtera rumah tangga ini. Nikmat atas anugerah suami yang bertanggung
jawab, anak-anak yang sehat, dan berbagai limpahan karunia lainnya. Sungguh
tidak dapat dihitung banyaknya.
Meskipun begitu, seperti halnya rumah tangga lain,
yang namanya ujian pasti selalu ada seperti problem dari luar, kesulitan
ekonomi, anak dan pasangan sakit, dan sebagainya. Namun alhamdulillah, karena
ternyata semua ujian itu hanyalah guncangan sementara yang menguji kesungguhan
iman. Pada akhirnya Allah mengangkat kembali ujian itu dan mengembalikan
keadaan pada ketenangan. Tinggal kita menilai, apakah kita bisa bersabar ataukah
mesti memperbaiki diri lagi? Apapun hasilnya tentu harus kita sikapi dengan
positif.
Yang saya rasakan, setiap ujian dalam kehidupan itu
merupakan cara Allah memintarkan dan mendewasakan kita. Saya ingat saat awal
menikah, saya bingung bagaimana harus memposisikan pasangan dalam setiap kasus.
Misalnya ketika tetangga meminjam uang, eh kok saya jadi bingung ya? Dulu tidak
pernah ada pertimbangan apa-apa dalam meminjamkan uang. Uang punya sendiri,
kok. Tapi setelah menikah, apa harus seizin suami ya? *bingung :D *
Padahal ya padahal, saya baca-baca juga kok buku-buku persiapan pra nikah. Tapi pada prakteknya tetep
saja suka bingung-bingung.
Begitu pula saat pertama kali dikaruniakan anak.
Soal perawatan fisiknya sih oke-oke saja. Tinggal baca pengetahuan tentang perawatan
bayi. Tapi menghadapi sikap bayi? Duh, ya ampuun... *bengong*
Sebelum menikah saya memang tidak pernah mengasuh
bayi. Paling cuma gendong-gendong keponakan atau anak tetangga sebentar saja.
Jadinya ya nggak tahu, kalau tangisan begini tuh maunya apa, tangisan begitu
tuh pengennya apa. Namun alhamdulillah dengan berjalannya waktu, kini saya
sudah lebih banyak tahu cara menghadapi anak. Contohnya, saya menemukan cara
memperlakukan anak berdasarkan perbandingan rasa dan akal yang mereka miliki.
Bayi berkomunikasi berdasarkan rasa maka saya pun harus melakukan pendekatan
berdasarkan rasa pula. Semakin besar anak, daya akalnya bertambah. Nah, saya
pun melakukan pendekatan sejauh akal yang dimiliki anak. Sisanya tetap
menggunakan rasa. Bingung? Maafkaan... saya memang kurang bisa menjelaskan
bahasa psikologi ini. *halah*
Intinya, sejumlah kebingungan yang saya alami dalam
rumah tangga hanyalah indikasi bahwa saya harus terus belajar. Itu. Kalau tidak
dikasih masalah, belum tentu saya mau belajar kan? :D
Saya sih pernah banget. Saya sendiri sering heran,
kenapa setiap diajak ngobrol suami ujung-ujungnya malah berantem? Ternyata
salahnya di situ. Suami ngomong pakai akal ya mestinya yang maen akal kita juga
dong. Nah, kalau suami pengen romantis-romantisan atau sedang sakit ingin
dilayani, maka cobalah pakai pendekatan rasa. Dijamin tambah disayang! *nasihat
nenek*
Oya, banyak orang yang tanya pada saya, bagaimana
sih caranya membesarkan 6 anak? Apa gak repot? Ya repot bin riweuh bin rempong
lah... (saking repotnya jadi ada bin-binnya, beranak pinak). Tapi, punya 6
anaknya kan tidak sekaligus, bukan kembar 6. Yang satu lahir, yang satunya mulai
gede. Kalau anak masih dua, tenaga kita juga masih kenceng. Saat anak ketiga
lahir, anak pertama sudah mulai bisa mengurus diri, sudah bisa makan dan mandi sendiri, sudah
bisa ngajak main adiknya yang kedua. Artinya anak nambah, ya kemandirian anak
terdahulu pun nambah. Otomatis nambah? Ya nggak lah. Tentu kita persiapkan,
kita program. Tapi ya semaksimal apapun usaha kita, Allah lah sebaik-baik
pendidik. Jadi jangan lupa untuk selalu berserah diri dan terus memohon
pertolongan-Nya.
Ada yang kepo dengan perekonomian rumah tangga saya?
Hihi... Nggak sih, saya cuma pengen sharing saja. Jadi, pelajaran yang saya
ambil dari perjalanan rumah tangga saya bahwa ternyata peningkatan perekonomian
seseorang itu ada hubungannya dengan cara berpikir (mindset). Betul, masalah
materi itu rejeki dari Allah. Tapi Allah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada
manusia untuk mencari karunia-Nya kan? Nah, saat kita membatasi pikiran kita
dengan berbagai alasan (belum butuhlah, tidak punya modallah, banyak hambatan
lah, dan lain-lain), maka tertutuplah pintu-pintu rejeki di hadapan kita.
Tetapi ketika kita membuka diri, mencari ilmunya, mau mendengar masukan orang (mendengar
tidak sama dengan mengikuti ya) dan mengolahnya, maka pintu-pintu rejeki pun
terbuka. Percaya? Percaya? Atau Percaya?
Oya jangan lupa, sering-sering shadaqah pada yang membutuhkan.
Shadaqah apa? Shadaqah apa saja sekemampuan kita. Niatkan shadaqah dengan
ikhlas dan hanya mengharap balasan dari Allah. InsyaAllah dalam waktu tidak
lama, Allah akan membalasnya.
Hmm...apalagi ya? Eh, sudah dulu saja ah. Tadinya cuma
mau nulis 300-400 word. Ini malah bablas ke 700-an. Mana waktu sudah menunjukkan pukul 0.23 lagi. Sekian saja ya, semoga bermanfaat. Ntar sharing lagi di lain waktu. C'u
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^