Salah satu mantan asisten rumah tangga saya bernama
Bi Nani. Sekarang dia sudah tidak bekerja lagi pada saya. Karena anak-anak
sudah besar, saya memutuskan untuk tidak memiliki asisten rumah tangga lagi.
Bi Nani berasal dari Garut. Saat pertama datang ke
Bandung, dia langsung bekerja di rumah saya. Alasan Bi Nani pindah ke rumah
mertuanya di Bandung, karena sawah yang digarapnya di Garut kering dan tak
menghasilkan. Meskipun hanya berprofesi sebagai asisten rumah tangga, Bi Nani
ingin anaknya sekolah. Ketika masih tinggal di Garut anaknya baru saja lulus
SMP. Bi Nani ingin supaya anak perempuannya itu melanjutkan sekolah SMA di
Bandung saja.
Setiap hari Bi Nani kerja di rumah saya dari pukul
07.00 pagi hingga 12.00 siang. Bi Nani hanya kerja dari hari senin sampai
sabtu. Hari minggu saya memberinya libur. Tugas Bi Nani mencuci perabotan rumah
tangga, mencuci baju, menyetrika hingga membersihkan rumah. Kerjanya cepat dan
rapi. Saya memberinya upah harian. Dia memang inginnya diupah seperti itu.
Sepulang kerja dari rumah saya, Bi Nani tidak
langsung pulang ke rumahnya. Dia kerja lagi menjadi asisten rumah tangga di
rumah orang lain hingga maghrib tiba. Demi anak, jawab Bi Nani saat saya
bertanya capek atau tidak kerja dari pagi sampai sore begitu.
Saya memang kasihan dengan nasib Bi Nani sehingga
saya suka berusaha memberikan pertolongan apa pun yang saya mampu. Saya benar-benar
ikhlas membantu Bi Nani tanpa mengharap balasan. Namun tiba-tiba, entah setan
mana yang membelokkan pikiran saya. Terlintas dalam pikiran saya ungkapan seperti
ini: "lagi pula Bi Nani bisa memberi apa pada saya?"
Astagfirullah...sepertinya
pikiran saya yang terakhir itu betul-betul kebablasan.
Rupanya Allah hendak membukakan pikiran saya. Di
suatu hari minggu pagi tiba-tiba saya merasa mual-mual dan kemudian muntah-muntah.
Kepala rasanya pusing sekali. Waduh, gimana saya mengerjakan pekerjaan rumah
tangga? Pikir saya. Padahal piring kotor banyak sekali. Tadi malam keluarga
besar dari suami mampir ke rumah. Mereka ada keperluan di Bandung dan meminta
suami mengantar-antar. Suami pun langsung berangkat bersama mereka dan belum
kembali hingga siang ini. Tadi malam telpon, katanya mau tidur di rumah
saudaranya yang tinggal di Bandung juga.
Akhirnya saya pun rebahan dahulu berharap kondisi
tubuh membaik.
Namun ternyata, tubuh saya malah demam tinggi. Anak-anak
saya biarkan main bersama anak tetangga di teras.
Ketika saya sedang merasakan panas dingin di dalam
selimut, terdengar orang yang bicara di luar.
“Ibunya kemana?”
“Tidur. Katanya sakit,” jawab Muti, anak saya.
Tidak lama setelah itu, terdengar pintu depan
terbuka.
“Bu! Bu!”
Lho, itu kan suara Bi Nani?
“Ya, Bi. Ibu di kamar. Sini!” jawab saya.
Bi Nani masuk ke kamar.
“Ibu sakit?” tanya Bi Nani.
“Iya. Tumben Bibi hari minggu kesini?” tanya saya.
“Saya sering lewat sini kok, Bu. Biasanya hari
minggu pagi, saya sudah lihat jemuran di depan. Barusan saya lihat jemuran
masih kosong. Saya jadi curiga khawatir ada apa-apa sama Ibu. Makanya saya
mampir. Saya lihat Si Neng Muti lagi main di depan,” jelas Bi Nani.
“Iya, Bi. Ibu juga nggak tahu kenapa tiba-tiba nggak
enak badan begini,” keluh saya.
“Ibu istirahat saja, biar Nani yang beres-beres.”
Tanpa menunggu jawaban saya, Bi Nani langsung keluar
kamar dan mengerjakan semua pekerjaan yang biasa dia lakukan. Setelah semua
beres, Bi Nani kembali ke kamar untuk pamitan.
“Bu, Nani pulang dulu ya. Semua sudah beres.
Sekalian Nani masakin juga bahan-bahan masakan yang ada di dapur,” pamit Nani.
“Oh iya, tadi sebelum sakit, Ibu masih sempet
belanja di tukang sayur. Sebentar ya Bi, Ibu ambil dompet dulu,” kata saya
sambil bangun perlahan karena masih terasa pusing.
“Eh jangan, Bu!” sergah Bi Nani sambil menahan tubuh
saya supaya tetap tidur.
“Jangan gimana, Bi?” tanya saya tidak mengerti.
“Jangan dibayar. Hari ini kan bukan jadwal Nani
kerja. Selama ini Ibu selalu bantu Nani. Sekarang saatnya Nani bantu Ibu. Hanya
ini yang bisa Nani beri ke Ibu,” ucapnya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan Bi Nani, saya langsung merasa diingatkan. Ternyata saya telah salah berpikir.
Siapa bilang orang kecil itu tidak bisa memberi? Tuhan Maha Adil. Siapa pun pasti
bisa memberi. Lagipula Tuhan tidak melihat bentuk yang diberi. Tidak melihat besar atau kecil pemberian. Ia hanya melihat keikhlasan Si Pemberi, yaitu tidak menyebut-nyebut pemberian yang bisa menyakiti hati yang diberi.
“Tulisan ini diikutsertakan
pada Monilando's Giveaway : Spread The Good Story"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^