Gambar dari sini |
Pagi
ini saya membaca status facebook seorang teman. Ia menyampaikan kekesalannya
saat menghadapi orang yang meminta buku gratis seenaknya. Seketika perasaan
tidak nyaman menelusup kembali di hati saya. Baru saja kemarin saya menghadapi
kejadian tidak mengenakkan yang berkaitan dengan dunia penulisan saya. Malamnya
saya masih sempat curhat sama anak-anak tentang “orang itu” yang seingat saya
sudah tiga kali bikin saya bete.
Untuk
mudahnya sebut saja dia si X. Dari beberapa kali interaksi yang tidak
mengenakkan dengan si X itu, akhirnya saya berpikir memang si X itu tipe orang
yang harus saya perlakukan tegas. Disyukuri memang, saya orangnya tipe lambat
menangkap sebuah kejadian. Sehingga ketika seseorang bersikap menyebalkan, saya
tidak gampang terbakar. Paling hati saya saja merasa kok nggak nyaman ya. Lalu
saya bengong terheran-heran. Setelah lamaaa direnungkan baru ngeh, oh...dia
bersikap aneh ya...
Nah,
sekarang Si X sudah tiga kali berulah. Artinya, kalau saya bertemu dia lagi
saya harus waspada. Harus menyiapkan jawaban-jawaban yang bisa membuat dia tahu
bahwa saya tidak mau diperlakukan seenaknya. Eh, saya belum cerita ya, dia
berulah apa saja pada saya selama ini? Oya belum. Ini dia.
Teteh (putri sulungku) & buku-bukunya |
Kejadian
pertama sudah lama terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat itu,
anak-anak saya yang masih usia SD, Teteh dan Uni berhasil menerbitkan beberapa
buku. Kebetulan saya bertemu dengan dia di sebuah seminar yang diselenggarakan
oleh sebuah yayasan pendidikan. Seusai seminar, beberapa teman mendatangi saya
dan mengucapkan selamat. Tidak sedikit dari mereka yang bertanya
(berkonsultasi) tentang dunia penulisan baik untuk dirinya maupun untuk anaknya.
Saya menyambut gembira keinginan teman-teman saya itu yang ingin ikut serta
dalam dunia penulisan.
Eh,
si X lewat menuju pintu keluar. Kebetulan saya memang berdiri di dekat pintu
keluar. Apa coba yang dia katakan? Sambil berlalu dia bilang, “Bukan nggak mau
saya memajukan anak-anak saya. Kasih dong saya modal.”
Si
X pun berlalu keluar tanpa menunggu jawaban saya. Hati saya terasa getir. Tapi
saya tidak bisa berkata apa-apa. Selain respon saya lambat, seperti yang sudah
saya katakan tadi. Percuma juga saya bicara, orang dianya cepat-cepat pergi.
Masya
Allah, dia maunya apa sih? Iri? Entah ya, kok saya jadi suudzon. Lihat
pandangan mata dan senyumannya itu, lho. Sepertinya menyiratkan sesuatu.
Maksud
saya, kalau seandainya dia bermaksud baik, kenapa dia tidak bicara baik-baik seperti
teman-teman saya yang lain. Dia kan bisa tanya saya:
- Bagaimana caranya, kok anak-anakmu bisa jadi penulis?
- Berapakah biaya yang dibutuhkan kalau memang harus mengikuti pelatihan?
Nah
kan, begitu lebih enak. Saya pasti menjawab dengan senang hati. Alhamdulillah,
anak-anak saya tidak dimasukkan ke pelatihan mana pun. Pertama, saya mencoba
meningkatkan minat baca mereka dengan membawa mereka ke perpustakaan gratis
seminggu sekali. Kedua, saya memang hobi menulis. Mungkin karena anak-anak
sering melihat saya duduk di depan komputer untuk menulis, mereka jadi terbawa.
Intinya
yang harus kita lakukan adalah membuka mata dan telinga untuk mendapatkan
informasi sebanyak mungkin demi pengembangan anak. Selanjutnya kita sebagai
orang tua harus terlebih dahulu membiasakan diri melakukan sesuatu yang kita
ingin anak kita mencontohnya. Istilahnya membudayakan kebiasaan positif di
keluarga.
Me & My Books |
Itu
kejadian pertama. Yang keduanya, suatu kali di sebuah pertemuan orang tua
siswa, saya sedang menunjukkan dua buku tulisan saya, Kisah Seru 25 Nabi dan
Rasul dan Rasulullah saw. is The Best, pada seorang teman. Teman saya itu
berminat menjual kembali buku-buku saya. Dia ingin tahu dulu bagaimana sistem
bisnisnya dan produk knowledge-nya. Sebelumnya, teman saya itu sering meng-SMS
saya dan akhirnya meminta saya membawa kedua buku tersebut untuk didemokan.
Tiba-tiba
si X datang duduk di samping teman saya itu.
“Buku
apa itu?” tanyanya sambil mengambil kedua buku itu dari tangan saya.
“Ini
buku yang saya tulis,” jawab saya.
Dia
membuka-buka buku tersebut. Dan apa yang dia lakukan kemudian membuat saya
tercengang. Saya tahu, teman saya pun ikut tercengang.
“Buku
ini cocok buat taman bacaan milik saudara saya. Saya minta ya. Kan jadi berguna
untuk umat,” ucapnya sambil memasukkan buku-buku itu ke dalam tasnya.
Masya
Allah, apakah Allah mengijinkan seseorang merampas barang milik orang lain
walau tanpa seijin pemiliknya? Saya tahu yang dikatakannya tidak salah. Kalau
buku itu ada di sebuah taman bacaan, insya Allah berguna bagi orang lain. Tapi
saya berhak mengatur hidup saya sendiri. Dan dia tidar berhak mengatur diri
saya. Memang dia tahu buku-buku yang saya tulis itu dari mana? Saya pun membelinya. Memang saya dapat buku gratis dari penerbit sebagai bukti terbit. Tapi jumlahnya tidak banyak. Cukup untuk memberi kepada orang-orang yang mendukung saya selama proses penulisan berlangsung. Salah satunya untuk anak ART (asisten rumah tangga) saya yang sudah merelakan ibunya membantu pekerjaan rumah tangga saya. Sehingga saya bisa mendapat waktu lebih banyak untuk menulis.
Saya
tahu, hidup ini tidak melulu untuk mendapatkan materi. Tapi juga nilai
(pahala). Tapi saya yakin, Allah tidak akan menyengsarakan hambanya selama sang
hamba tahu kewajiban. Artinya begini, saya tahu diri dengan rejeki yang Allah
berikan pada saya, makanya saya mengalokasikan beberapa buku juga untuk aktivitas
sosial. Tapi saya juga menghitung, seberapa besar kemampuan saya untuk membagikan
buku gratis tersebut. Jangan sampai demi untuk memberi, saya mengutang
kesana-kemari. Tentu Allah tidak menghendaki yang seperti itu. Sehingga sudah
seharusnya si X tidak sok tahu dengan harta yang saya punya. Orang si X itu, pembimbing
spiritual saya juga bukan.
Hadiah Lomba Blog |
Kejadian
ketiga saya alami persis kemarin. Di sebuah media sosial, saya memang sengaja
mengunggah foto tab, hadiah juara 1 lomba blog. Tujuannya untuk mengucapkan
terima kasih kepada pihak panitia yang telah menyelenggarakan lomba tersebut
dan memberi motivasi kepada teman-teman penulis supaya semakin giat menulis.
Apa
coba yang si X, katakan?
“Dapat
hadiah itu bagi-bagi dong, jangan dinikmati sendiri.”
Masya
Allah untuk yang ketiga kalinya. Kenapa sih dia kalau bicara itu selalu
menembak. Tidakkah lebih baik dia tanya dulu, bagaimana caranya saya
mendapatkan hadiah itu? Usaha apa yang saya lakukan hingga berhasil menjadi
juara 1?
Kalau
seandainya dia tahu bahwa lomba itu diselenggarakan selama seminggu. Yang
artinya saya harus menulis selama 7 hari dengan 7 tema yang di deadline setiap
harinya. Padahal saya dalam keadaan pindahan ke rumah kontrakan yang sempit
karena rumah lama sedang di renovasi. Terbayang tidak saya dikejar deadline
sambil pindahan rumah? Terbayang tidak saya harus tetap menulis sambil harus
beres-beres dan mempertahankan keceriaan 6 anak saya supaya tetap semangat
sekolah meski keadaan sedang tidak normal. Kebayang tidak saya harus mencari
buku referensi di tumpukan kardus-kardus barang pindahan? Kebayang tidak?!
Ya
boro-boro kebayang, nanyain saja kan tidak.
Hari
itu juga saya menulis status:
“Jika kita melihat seseorang membawa ikan,
jangan meminta ikannya. Tapi pinjamlah kailnya. Sayang sekali, ada beberapa dari kita tidak
butuh kail meskipun si pemilik kail dengan senang hati mau meminjamkan.
Jangankan mau nyari kail sendiri dan ngemodal untuk beli kail, dipinjamin gratis saja
tidak mau.”
Walah,
sepertinya emosi saya benar-benar masuk seratus persen ke dalam tulisan ini. Mohon
maklum ya.
Baiklah,
sebetulnya saya menulis blog ini tujuannya ingin sharing tips mengenai cara
meminta buku gratis pada seorang penulis. Sebagai seorang penulis, saya tidak
melarang orang kok untuk meminta buku gratis dari saya. Tapi tolong
diperhatikan etikanya. Penulis juga manusia. Sama-sama punya hati dan
keterbatasan. Terbatas materi dan terbatas kesabaran.
Nah jadi apa yang harus
kita lakukan saat minta buku gratis? Ini dia jawabanya:
Pertama,
tanya dulu apakah sang penulis punya alokasi buku untuk disumbangkan?
Kedua,
kalau ada, ceritakan alasan kita minta sumbangan buku.
Ketiga,
kalau penulis tersebut mengabulkan keinginan kita, tentu yang pertama kita lakukan adalah mengucapkan
terima kasih. Selanjutnya beri laporan pada penulis buku tersebut mengenai
kabar keberadaan bukunya sekarang. Kalau misalnya buku itu untuk taman bacaan,
cobalah buku tersebut difoto di taman bacaan tersebut dan kirimkan fotonya pada
sang penulis. Dijamin penulis buku itu bakal senang melihatnya.
Keempat,
walaupun kita tidak jadi diberi buku gratis, kita tetap harus mengucapkan
terima kasih karena sang penulis sudah meluangkan waktu mendengarkan permintaan
kita.
Kelima,
dengan sopan kita minta pada penulis kalau seandainya penulis tersebut
menerbitkan buku baru lagi, bolehlah dia menyumbangkan bukunya pada kita. Tentu
sembari mendoakan supaya penulis tersebut ke depannya lebih maju dan lebih
produktif lagi.
Lalu kenapa sih kita
tidak bisa seenaknya meminta buku dari penulis?
Lha
iya dong. Penulis juga kan bekerja keras menulis buku tersebut. Dia mengerahkan
daya pikirnya, menyita waktunya dan mengeluarkan biaya untuk membuat tulisan.
Memang
berapa sih biaya untuk menulis? Paling kan cuma kertas dan pulpen?
Ya
ampun! Kemana aja, Bro? Gak jaman kali nulis cuma pakai kertas dan pulpen.
Penulis sekarang itu, kalau ketinggalan wawasan dan teknologi pasti ditinggal
pembaca dan penerbit. Dia gak bisa nulis begitu saja. Penulis juga butuh
wawasan. Dia harus membeli buku referensi, membuka internet, memiliki komputer,
kalau perlu mengikuti pelatihan-pelatihan menulis. Jadi tolong jangan disepelekan
profesi menulis.
Profesi?
Ya,
orang berhak cari nafkah dari menulis. Sama dengan profesi-profesi lainnya.
Jadi kalau kita meminta gratis produk yang dihasilkan penulis, sama artinya
kita tidak menghargai profesi penulis. Dianggapnya membuat buku itu bukan
pekerjaan untuk mencari nafkah. Lalu apa sebutannya bagi orang yang mengganggu
nafkah orang lain? Hehe...silakan jawab sendiri.
Oke.
Kayaknya saya sudah terlalu berpanjang-panjang. Cukup demikian, para hadirin.
Kira-kira itu saja yang bisa saya bagi. Mohon maaf kebanyakan curhatnya. Anggap
saja sebagai ilustrasi ^^
Dalam diri setiap orang ada kekurangan dan kelebihan. Demikian pula pada diri si "X" yang saya profilkan di sini. Saya menyoroti sifat negatif "X" mewakili individu-individu lain yang memiliki sifat serupa. So, saya tidak membenci orangnya tapi membenci sikapnya. Semoga X segera berubah, aamiin... :)
Tetap semangat, Bunda! Semoga lain kali semakin banyak orang yang menyadari pentingnya meminjam kail, bukan meminta ikan. Atau, lebih baik lagi adalah cukup meminta informasi tentang muasal kail itu didapat. :)
BalasHapusAamiin... Terima kasih Mas Irham atas support dan kunjungannya :)
HapusHihihi ikutan gemes mbak
BalasHapusTapi saya jadi plong, Mbak haha....
HapusItu karena sebagian masyarakat kita belum menghargai buku. Mudah-mudahan dengan berjalannya waktu pemikiran itu bisa berubah. Dan, kita yang turut andil untuk mengubahnya, smoga. Amin.
BalasHapusAamiin... Betul, mbak. Karena mereka tidak memahami dunia literasi jadi mungkin tidak memahami juga proses terbitnya sebuah buku. Jadi aja seenaknya :)
HapusWeh .. tipe orang aneh memang X itu ....
BalasHapusAda yang SMS saya, nanya: apa ada buku gratis? Mungkin dia lihat ipar saya komen di page, mengatakan sudah dapat buku gratis dari penulisnya. Sy menyesali komen ipar saya tsb tapi mau bilang apa? Lagi pula ipar saya itu hanya berupa oleh2 karena tidak tinggal satu kota dengan saya.
Nah, sama teman yang nanya itu saya bilang, "Saya juga harus beli kalo mau buku itu. Di toko buku ada."
Weeh, padahal saya bisa dibilang baru dalam dunia menulis .... waktu di buku yang terbit lalu juga ada yang inbox nanya buku gratis .... ternyata memang banyak yang mengalaminya ya Mak ... kudu sabar2 ... :))
Kalau dia betingkah lagi, saya tidak akan melepaskannya, mbak. Sudah keterlaluan, kayaknya sudah saatnya diberi tahu kesalahannya.
HapusIya, saya juga tidak mengerti kenapa sampai ada budaya minta buku gratis seenaknya.
Semoga cabdaan saya setiap minta buku gratis ke temen yang bukunya baru terbit tidak ditanggapi serius, hehe
BalasHapusKalau temannya sudah dekat dengan kita dan tahu kita suka bercanda sih gak masalah, Mbak. Tapi mengingat banyak penulis mengalami diminta sampai ditodong buku gratis, kayaknya harus agak hati-hati juga. Khawatir penulisnya lagi benar-benar sensi, ntar kitanya kena semprot deh hehe...
HapusBtw, makasih ya udah berkunjung :)
Krn tdk tahunya sebagian org bagaimana sulitnya menerbitkan buku .... makanya dgn mudah minta gratisan. Untuk itu sebaiknya kita memang tdk meminta gratis, ....sbg penghargaan kita akan karyanya .... akan lebih baik kita ikut mempromosikannya .... kecuali emang kita dihadiahkan .... yg saya lakukan spt yg mbak saran tadi }
BalasHapusMungkin memang begitu ya, Mba.Kesannya nulis kan cuma ngeluarin isi otak. Tanpa perlu modal hehe...
HapusBtw, makasih atas kunjungannya ya :)
Foto yg dipajang paling atas itu si X mak?
BalasHapusBukan Maaak... itu salah satu putriku yang udah nerbitin buku :)
HapusAlhamdulillah menambah wawasan buat saya mba, makasih
BalasHapusSama-sama ^^
Hapusyang sabar ya mak :) pasti ada hikmahnya.
BalasHapussaya sendiri pernah gitu sama teman penulis, tapi cuma bercanda doang, soalnya salut dan bangga banget mereka udah punya buku. Tulisannya informatif sekali, Soal hadiah, saya juga dimintai sama teman dumay, tapi saya enjoy aja, anggap mereka bercanda dan jaga komunikasi yang baik.
Iya kalau cuma bercanda apalagi di dumay, saya rileks aja. Tapi kalau sikapnya nyata, ngambil buku langsung dari tangan saya tanpa sepersetujuan saya itu sih sudah berlebihan. Orang seperti itu harus dikasih tahu. Kasihan. Insya Allah ada hikmahnya bagi saya. Makasih ya :)
HapusGeram juga bacanya Mbak. Hihihi... saya juga sedang berusaha tidak meminta buku gratis ke kawan-kawan yang menerbitkan buku. Ingat dulu waktu menerbitkan antologi sering dimintai buku gratis.padahal tulisan cuma seupil, untuk koleksi pribadi aja harus beli. Konon kasih gratis #curcol
BalasHapusHaha...iya warning aja buat kita. Ternyata kita juga kesal kalo ada yg minta2 buku gratis seenaknya :)
Hapusminta sih... bleh aja. tp, cara@ itu mbak bikin darah mendidih, kesal saya....
BalasHapusIya, harus diperhatikan etikanya :)
Hapus