Mengingat beberapa belas tahun ke belakang. Entah terinspirasi oleh siapa? Tapi, mungkin juga oleh cerita Ibu Kartini yang melakukan surat menyurat dengan teman-temannya di negeri Belanda. Aku senang sekali berkorespondensi. Menurut KBBI, korespondensi adalah kegiatan surat menyurat. Ya, sejak zaman SD aku hobi banget korespondensi.
Siapa sih, yang biasa aku surati? Surat pertamaku dibuat ketika aku kelas 1 SD. Surat itu ditujukan untuk Early, sepupuku yang tinggal di Kalimantan. Apa betul aku bisa nulis surat sendiri dan mengirimkanya lewat pos? Nulis sendiri suratnya sih, iya. Secara aku kan sudah bisa baca dan nulis walaupun sekelas cakar ayam...hehehe... Padahal sih sampai sekarang tulisan cakar ayamnya gak berubah...hahaha.....
Balik lagi ke surat pertamaku ya. Jadi yang bertindak sebagai tim pengonsep... (halah! kayak konsep proklamasi sahaja...hihihi....). Ehm! Serius... Jadi, yang mengonsep suratku adalah pamanku. Aku memanggilnya Um Dendi (Alm.). Waktu itu beliau baru saja menikah dengan bibiku/tanteku. Um Dendi menuliskannya, baru aku menyalinnya. Um Dendi pula yang nantinya mengirimkan melalui pos. Terima kasih Um-ku tersayang. Semoga Allah SWT. mengampuni dosa-dosamu dan menerima amal ibadahmu, amiin.
Flashback dikit ya...
Sebenarnya pengonsep pertama suratku itu bukan Um Dendi. Waktu itu, aku yang memang sering tinggal dengan nenekku, ngotot ingin ngirim surat ke sepupuku. Entah awalnya dari mana. Rasanya kangeeen sekali dan kepikiran ingin berkirim surat. Nenekku yang orangnya super sibuk hilir mudik ruang tamu-dapur mana sempat membantuku. Akhirnya, ia menyuruh pembantunya yang masih muda (mungkin umurnya baru 15-17 tahunan) untuk membantuku menulis surat.
Alamaaak... begitu aku baca konsep suratnya, kira-kira begini isinya:
"Sim kuring neda hapunten, upami salami ieu teu acan tiasa ngintun kabar. Mugia Early sakulawargi dipasihan kasehatan ku gusti nu Maha Suci. Salajengnya... bla...bla... bla..."
Wkwkwkwk.... gw masih bisa ketawa ngakak sekarang mengingat konsep surat itu. Secara, pake bahasa Sunda yang keren abizz.... hahaha...
Aku protes dong waktu itu. Aku bilang ke nenekku, aku gak mau suratnya kayak gini! Um Dendi melihatku ngambek.
"Sini, Um Dendi bikinin konsepnya," tawar beliau.
Maka jadilah konsep surat yang kedua. Deuuh... susah banget ya mau bekirim surat!
Isinya kira-kira begini:
"Early, kumaha damang? Di ditu usum naon? Di dieu mah usum rambutan. Iraha uih? Engke ku Dewi (aku) disesakeun cangkangna nya... " ("Early, gimana kabarnya? Di sana musim apa? Kalau di sini musim rambutan. Kapan pulang (ke Pulau Jawa)? Nanti sama aku disisain cangkangnya ya...")
Hahaha... aku langsung suka melihat konsep surat bikinan Um Dendi. Isinya lebih ringan dan kocak. Nah, itulah kisah surat pertamaku.
Bagaimanakah kisah surat-suratku selanjutnya? Ikuti setelah pesan-pesan berikut ini #plak#
Tidak berapa lama setelah aku mengirim surat, suratku dibalas tapi bukan oleh Early melainkan oleh ayahnya. Surat itu ditik rapi. Meskipun bukan Early yang balas, tapi aku senang sekali karena di surat itu ada paragrap yang khusus mengomentari kiriman suratku. Yippieee... suratku betul-betul sampai! Di situ, Mang Ujang (ayah Early) memujiku, katanya aku sudah pintar kirim surat :D.
Sejak saat itu, aku keranjingan berkirim surat. Kebetulan aku langganan majalah Bobo. Mungkin hampir setiap alamat yang ada di surat pembaca majalah Bobo aku kirimi surat. Termasuk ke majalah Bobo-nya sendiri. Hahaha... Andakah yang jadi korbannya?
Sayang sekali nggak pernah ada yang ngebales. Pernah sih ada yang ngirim surat, katanya kenal aku dari surat pembaca di majalah Bobo. Jadi bukan karena aku mengiriminya surat. Surat itu, jauh lho dari Papua. Aku lupa, entah kenapa aku tidak membalasnya. Mungkin ya... waktu itu suratnya datang setelah aku SMP atau SMU, sedangkan dia ngakunya masih SD. Ah, nggak level, pikirku saat itu. Ih, jahat banget aku yah.... Nyesel deh! Kayaknya aku lupa sama masa laluku. Padahal dulu ketika aku ngirim surat-surat ke seantero nusantara (halah!), aku berharap banget dibalas. Ya, sudahlah no body perpect, ok!
Selanjutnya! Biarpun aku wong ndeso (ngaku sendiri lho ya), aku aktif di pramuka dan paduan suara. Aku suka kemping-kemping dan ikut lomba paduan suara. Nah, di tempat seperti itulah aku bertemu anak-anak dari sekolah lain. Hal yang tidak pernah aku lupakan adalah membawa diari kecil. Aku selalu mengajak anak-anak itu berkenalan dan meminta mereka untuk menuliskan nama dan alamatnya di diariku itu. Setelah acara selesai dan aku kembali ke rumah, bisa dipastikan merekalah korban selanjutnya untuk kukirimi surat... hahaha.... (krik, krik, krik... suara jangkrik. Sepi. Gak ada yang ketawa kecuali aku... #tutup muka)
Banyak hal-hal menarik aku temukan dalam hidupku karena kesukaan korespondensi ini. Ini dia, kisah-kisahnya:
Sebenarnya masih banyak kok cerita menarik dan menyenangkan yang lain. Dan cuma ada satu yang aku sesalin dari korespondensi ini. Kenapa hubungan pertemanan yang demikian akrab dijalin dalam surat, kok jadi basi saat bertemu? Apakah semua yang diceritakan dalam surat itu bohong? Aku yakin, pastinya sih tidak. Yah, mungkin kaget saja atau risih, tidak siap saat harus bertemu muka.
Anyway... yang pasti pengalaman korespondensiku ini menjadikan aku senang menulis, senang bercerita dalam bentuk tulisan dan menjadi kenangan manis bagiku sekarang. Terima kasih aku ucapkan bagi sahabat penaku di masa lalu. Kalian telah membuat bagian hidupku menjadi indah.
Siapa sih, yang biasa aku surati? Surat pertamaku dibuat ketika aku kelas 1 SD. Surat itu ditujukan untuk Early, sepupuku yang tinggal di Kalimantan. Apa betul aku bisa nulis surat sendiri dan mengirimkanya lewat pos? Nulis sendiri suratnya sih, iya. Secara aku kan sudah bisa baca dan nulis walaupun sekelas cakar ayam...hehehe... Padahal sih sampai sekarang tulisan cakar ayamnya gak berubah...hahaha.....
Balik lagi ke surat pertamaku ya. Jadi yang bertindak sebagai tim pengonsep... (halah! kayak konsep proklamasi sahaja...hihihi....). Ehm! Serius... Jadi, yang mengonsep suratku adalah pamanku. Aku memanggilnya Um Dendi (Alm.). Waktu itu beliau baru saja menikah dengan bibiku/tanteku. Um Dendi menuliskannya, baru aku menyalinnya. Um Dendi pula yang nantinya mengirimkan melalui pos. Terima kasih Um-ku tersayang. Semoga Allah SWT. mengampuni dosa-dosamu dan menerima amal ibadahmu, amiin.
Flashback dikit ya...
Sebenarnya pengonsep pertama suratku itu bukan Um Dendi. Waktu itu, aku yang memang sering tinggal dengan nenekku, ngotot ingin ngirim surat ke sepupuku. Entah awalnya dari mana. Rasanya kangeeen sekali dan kepikiran ingin berkirim surat. Nenekku yang orangnya super sibuk hilir mudik ruang tamu-dapur mana sempat membantuku. Akhirnya, ia menyuruh pembantunya yang masih muda (mungkin umurnya baru 15-17 tahunan) untuk membantuku menulis surat.
Alamaaak... begitu aku baca konsep suratnya, kira-kira begini isinya:
"Sim kuring neda hapunten, upami salami ieu teu acan tiasa ngintun kabar. Mugia Early sakulawargi dipasihan kasehatan ku gusti nu Maha Suci. Salajengnya... bla...bla... bla..."
Wkwkwkwk.... gw masih bisa ketawa ngakak sekarang mengingat konsep surat itu. Secara, pake bahasa Sunda yang keren abizz.... hahaha...
Aku protes dong waktu itu. Aku bilang ke nenekku, aku gak mau suratnya kayak gini! Um Dendi melihatku ngambek.
"Sini, Um Dendi bikinin konsepnya," tawar beliau.
Maka jadilah konsep surat yang kedua. Deuuh... susah banget ya mau bekirim surat!
Isinya kira-kira begini:
"Early, kumaha damang? Di ditu usum naon? Di dieu mah usum rambutan. Iraha uih? Engke ku Dewi (aku) disesakeun cangkangna nya... " ("Early, gimana kabarnya? Di sana musim apa? Kalau di sini musim rambutan. Kapan pulang (ke Pulau Jawa)? Nanti sama aku disisain cangkangnya ya...")
Hahaha... aku langsung suka melihat konsep surat bikinan Um Dendi. Isinya lebih ringan dan kocak. Nah, itulah kisah surat pertamaku.
Bagaimanakah kisah surat-suratku selanjutnya? Ikuti setelah pesan-pesan berikut ini #plak#
Tidak berapa lama setelah aku mengirim surat, suratku dibalas tapi bukan oleh Early melainkan oleh ayahnya. Surat itu ditik rapi. Meskipun bukan Early yang balas, tapi aku senang sekali karena di surat itu ada paragrap yang khusus mengomentari kiriman suratku. Yippieee... suratku betul-betul sampai! Di situ, Mang Ujang (ayah Early) memujiku, katanya aku sudah pintar kirim surat :D.
Sejak saat itu, aku keranjingan berkirim surat. Kebetulan aku langganan majalah Bobo. Mungkin hampir setiap alamat yang ada di surat pembaca majalah Bobo aku kirimi surat. Termasuk ke majalah Bobo-nya sendiri. Hahaha... Andakah yang jadi korbannya?
Sayang sekali nggak pernah ada yang ngebales. Pernah sih ada yang ngirim surat, katanya kenal aku dari surat pembaca di majalah Bobo. Jadi bukan karena aku mengiriminya surat. Surat itu, jauh lho dari Papua. Aku lupa, entah kenapa aku tidak membalasnya. Mungkin ya... waktu itu suratnya datang setelah aku SMP atau SMU, sedangkan dia ngakunya masih SD. Ah, nggak level, pikirku saat itu. Ih, jahat banget aku yah.... Nyesel deh! Kayaknya aku lupa sama masa laluku. Padahal dulu ketika aku ngirim surat-surat ke seantero nusantara (halah!), aku berharap banget dibalas. Ya, sudahlah no body perpect, ok!
Selanjutnya! Biarpun aku wong ndeso (ngaku sendiri lho ya), aku aktif di pramuka dan paduan suara. Aku suka kemping-kemping dan ikut lomba paduan suara. Nah, di tempat seperti itulah aku bertemu anak-anak dari sekolah lain. Hal yang tidak pernah aku lupakan adalah membawa diari kecil. Aku selalu mengajak anak-anak itu berkenalan dan meminta mereka untuk menuliskan nama dan alamatnya di diariku itu. Setelah acara selesai dan aku kembali ke rumah, bisa dipastikan merekalah korban selanjutnya untuk kukirimi surat... hahaha.... (krik, krik, krik... suara jangkrik. Sepi. Gak ada yang ketawa kecuali aku... #tutup muka)
Banyak hal-hal menarik aku temukan dalam hidupku karena kesukaan korespondensi ini. Ini dia, kisah-kisahnya:
- Waktu SD aku kemping pramuka tingkat kabupaten. Di sana aku kenalan dg seorang anak perempuan (lupa lagi namanya). Anak itu dari sekolah lain kecamatan. Sepulang kemping aku langsung mengiriminya surat. Tidak berapa lama, dia pun membalasnya. Sejak saat itu, rutinlah kami berbalas pantun...eh...surat. Suatu hari, tetanggaku yang tinggal di belakang rumah datang ke rumahku dan meminta supaya aku datang ke rumahnya. Katanya, keponakannya ingin bertemu denganku. Pas aku datang, ya ampuun... anak perempuan sahabat penaku itu. Oooh, ternyata yang tinggal di belakang rumahku itu, kakeknya anak perempuan itu...hehehe...
- Pas SMP, entah kenapa sahabat penaku banyak cowok ya... Banyakan anak STM sih... heheh. Jangan mikir macem-macem yah! Isinya sih cerita-cerita biasa aja. Buatku, asyiknya baca surat, ya karena bisa mendengar cerita dari tempat lain. Secara, aku kan anak kecil yang sulit akses kemana-mana. Kesian banget ya aku... :D
- Nah, ini cerita pas SMA. Aku nyuratin anak cowok di Jogja. Dia tuh temennya, temen kostku. Isinya sih, aku nanya-nanya info tentang kuliah di Jogja karena waktu itu kan aku udah kelas 3 SMA. Kali aja bisa kuliah di sana. Namun uniknya ternyata kami diterima di kampus yang sama di Bandung.
Sebenarnya masih banyak kok cerita menarik dan menyenangkan yang lain. Dan cuma ada satu yang aku sesalin dari korespondensi ini. Kenapa hubungan pertemanan yang demikian akrab dijalin dalam surat, kok jadi basi saat bertemu? Apakah semua yang diceritakan dalam surat itu bohong? Aku yakin, pastinya sih tidak. Yah, mungkin kaget saja atau risih, tidak siap saat harus bertemu muka.
Anyway... yang pasti pengalaman korespondensiku ini menjadikan aku senang menulis, senang bercerita dalam bentuk tulisan dan menjadi kenangan manis bagiku sekarang. Terima kasih aku ucapkan bagi sahabat penaku di masa lalu. Kalian telah membuat bagian hidupku menjadi indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^