(Ini adalah salah satu tulisan yang selalu saya baca. Terima kasih Mbak Dhona)
Oleh: Rf Dhona 26 Februari 2010
Semester ini saya dapat tugas mengajar mata kuliah Menulis Fiksi. Tugas akhir dari matakuliah ini adalah menulis novel. Langkah pertama sebagai warming up, saya menugaskan mahasiswa untuk meresensi novel. Ketika tugas ini saya sosialisasikan, banyak mahasiswa yang keberatan. Mereka merasa bahwa meresensi buku (apalagi yang berjenis novel) merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Saya maklum, mungkin karena mereka belum terbiasa membaca buku dan menulis. Apa hubungannya kebiasaan membaca dan menulis dengan meresensi buku? Lalu, benarkah meresensi buku itu sulit?
Seorang penulis ternama mengatakan bahwa untuk jadi penulis, modalnya hanya dua, yaitu mau membaca dan bisa menulis. Menulis yang dimaksud disini adalah menuangkan gagasan/pendapat/opini yang ada di kepala (pikiran) kita ke atas kertas. Menulis berbeda dengan mencatat. Kalau mencatat, kita hanya menyalin tulisan (dan inilah yang sering kita lakukan semasa sekolah ^_^ ). Sedangkan menulis, kita benar-benar ‘mengeluarkan’ isi kepala kita.
Kita bisa menulis jika pikiran kita dipenuhi oleh ilmu pengetahuan. Ya, bagaimana kita bisa menulis tentang ‘sesuatu’ jika kita tidak punya pengetahuan sama sekali tentang ‘sesuatu’ itu? Jadi, terlebih dahulu isilah kepala kita dengan ilmu sebanyak-banyaknya. Ilmu pengetahuan bisa kita serap dari hasil membaca. Bisa membaca buku, membaca keadaan sekitar, membaca pikiran orang lain (lho!), dsb. Jika sudah terbiasa membaca dan menuangkan uneg-uneg/gagasan secara tertulis, dijamin, menulis apapun tidak akan terasa sulit lagi.
Kembali ke resensi.
Sebenarnya hakikat meresensi itu apa sih? Saya selalu katakan pada mahasiswa saya, bahwa meresensi (me-review) itu sama saja dengan menganalisis, menilai, mengomentari, mengapresiasi, mengkritik dan memberi pendapat, mengulas, atau membahas. Jika yang diresensi adalah novel, maka yang dianalisis, dinilai, dikomentari, diapresiasi, diulas, dikritik, dibahas, adalah isi dari novel tersebut. Tentu saja untuk mengetahui isi novel itu seperti apa, kita harus membaca keseluruhan novel dari awal sampai akhir. Ini adalah hal pertama yang wajib dilakukan ketika akan meresensi novel atau buku. Demikian pula ketika akan meresensi film, kita wajib nonton film tersebut lebih dulu.
Secara umum, bagian-bagian resensi buku adalah identitas buku (mencakup judul buku, siapa penulisnya, siapa penerbitnya, berapa harganya, tebal buku berapa halaman, dll.), sinopsis/ringkasan isi buku, kelebihan dan kekurangan buku, serta bahan pertimbangan. Khusus untuk resensi novel, kita juga harus memperhatikan apa saja unsur-unsur novel yang bisa diresensi. Unsur-unsur novel diantaranya adalah tema, alur/plot/jalan cerita, penokohan/perwatakan, setting, sudut pandang penceritaan, gaya bahasa, dan amanat. Pilih unsur novel yang paling menonjol. Jadi tidak perlu meresensi semua unsur. Tapi kalau ingin menilai semua unsur novel boleh-boleh saja kok.
Kenapa untuk belajar menulis novel harus meresensi novel penulis terkenal dulu? Saya sepakat dengan mbak Asma Nadia (penulis novel-novel laris itu lho), bahwa melalui kegiatan meresensi buku, kita bisa sekalian belajar bernalar, mempelajari karya orang lain, sehingga kita dapat masukan tentang kelebihan serta kekurangan karya penulis tersebut. Dengan kata lain, ambil/tirulah kelebihan-kelebihan karya penulis itu dan hindari kekurangan-kekurangannya.
Selain manfaat di atas, ada lagi manfaat meresensi buku yang ‘asyik banget’. Saya sering meresensi buku dan Alhamdulillah ketika saya kirimkan ke media cetak sering dimuat. Keuntungan pertama yang saya peroleh, tentu saja honorarium dari media yang bersangkutan (meski nggak terlalu banyak, tapi lumayan). Keuntungan kedua, jika mencantumkan nama lembaga, saya juga mendapat insentif dari lembaga tersebut (nominalnya juga nggak seberapa, tapi tetap wajib disyukuri ).
Misalnya dulu ketika saya masih tercatat sebagai mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM), dibawah nama saya (biasanya di bagian bawah tulisan) saya cantumkan kata-kata “penulis adalah mahasiswa UM jurusan Sastra Indonesia”. Saya tinggal menyerahkan guntingan tulisan asli (bukan fotokopian) dari media cetak yang memuat tulisan saya ke bagian HUMAS UM, lalu pihak HUMAS memberi saya insentif sebagai ucapan terima kasih. Karena pencantuman nama lembaga (apalagi yang sifatnya profit) adalah salah satu bentuk promosi gratis. Jika di setiap tulisan saya yang dimuat di media (yang mungkin telah dibaca oleh ribuan orang di seluruh Indonesia misalnya ^_^ ), saya cantumkan nama lembaga tertentu, berarti secara tidak langsung saya ikut mengiklankan nama lembaga tersebut ke banyak orang. Begitu maksudnya…
Keuntungan ketiga, saya dapat buku gratis dari penerbit buku yang salah satu bukunya saya resensi (dan dimuat di media) tadi. Caranya, gunting tulisan asli dari media cetak (sekali lagi, jangan yang fotokopian ya), beri surat pengantar, lalu kirim ke alamat penerbit. Alhamdulillah, dengan cara seperti ini koleksi buku saya bertambah tanpa harus mengeluarkan sejumlah uang. Kadang bukan hanya dapat satu buku baru, tetapi dua! Sudah gratis, masih belum dilaunching pula. Ini adalah wujud terimakasih penerbit karena kita telah ikut mempromosikan bukunya di media. Dan kalau kita dikasih buku baru (yang belum dilempar ke pasar), biasanya itu tanda kalau kita diharapkan mau meresensi buku penerbit itu lagi.
Jadi ketika saya tahu ada resensi saya yang dimuat di koran atau majalah, saya akan beli tiga eksemplar sekaligus. Pertama untuk saya pribadi, kedua untuk lembaga dimana saya bernaung, dan ketiga untuk penerbit ^_^.
Itulah (sebagian) asyiknya meresensi buku. Mungkin Anda punya pengalaman asyik lainnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^