Selasa, 10 Januari 2012

Yang Belia Yang Berkarya



Sumber: Koran Tempo, 27 Juni 2010

Meski memasuki masa liburan, bukan berarti Maghfira Meutia Dewi alias Fira Meutia, 12 tahun, bisa berleha-leha. Selain sibuk memilih sekolah lanjutan pertama yang akan dimasukinya, ia tengah berkonsentrasi menuntaskan buku yang bercerita tentang perubahan iklim.

“Buku tentang global warming sudah aku tulis 30 halaman,” kata peraih Internet Sehat Blog Award 2009 kategori Student Blog yang juga menjadi connector (pembawa pesan perubahan iklim) The Climate Project Indonesia itu saat ditemui di rumahnya, Vila Pamulang, Kamis lalu.

Sejak Mei lalu, kumpulan cerpen perdananya, Liontin Amery, yang diterbitkan Mizan, mengisi rak-rak toko buku. Dua naskah lainnya, Petualangan Asma di Dunia Maya dan kumpulan tulisannya di blog Mau Tahu Keripik Setan atau Pesan Berantai?, masih menunggu kepastian dari penerbit.

Di tempat lain, di salah satu sudut Kota Bandung, Maryam Muthmainnah, 13 tahun, juga tak bisa sepenuhnya santai di libur panjang ini. Finalis Olimpiade Matematika siswa SD tingkat nasional itu bertekad menuntaskan novel keduanya. Novel pertama, Piza Pizi Veronica, yang ditulis dalam tempo lebih dari setahun, diterbitkan Lingkar Pena, juga pada Mei 2010.

Buku setebal 96 halaman itu bercerita tentang petualangan Veronica Jean Holmes dengan makhluk luar angkasa. “Idenya dari game tentang pizza,” kata Muti, panggilan Maryam di rumah. Selain sanggup melahap 30 judul buku dalam sebulan, ia keranjingan bermain video game.

Untuk novel kedua, Muti mengaku belum memiliki judul. Tapi isinya berkisah tentang tokoh-tokoh matematika. Pelajaran matematika, yang paling disukainya di sekolah, pernah mengantarnya sebagai finalis Olimpiade Matematika siswa SD tingkat Jawa Barat. “Baru nulis sembilan halaman, kok. Targetnya 40 halaman,” kata anak baru gede kelahiran 28 September 1997 itu.

Tak cuma Fira dan Muti yang sudah menerbitkan karya tulis saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Sejak Abdurahman Faiz mempublikasikan kumpulan puisinya, Untuk Bunda dan Dunia, yang fenomenal pada awal 2004, bermunculan penulis-penulis belia berbakat lainnya, seperti Sri Izzati, Qurrota Aini, Putri Salsa atau Caca, Arifia Sekar Seroja, dan Ayunda Nisa Chaira atau Bella.

Saking banyaknya penulis cilik, penerbit Mizan sejak 2008 memprakarsai hajatan khusus bagi mereka. Tahun ini acara bertajuk “Konferensi Penulis Cilik Indonesia” itu digelar di Kementerian Pendidikan Nasional pada 10 Juni lalu. Walau tahun ini tidak bertemu dengan Presiden untuk memperkenalkan diri, seratusan anak peserta konferensi itu cukup puas bertemu dengan Menteri Pendidikan M. Nuh dan tujuh istri menteri, yang tergabung dalam Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu.

Saat berdiskusi, para penulis cilik itu bertanya soal dunia anak-anak, tentang pajak, juga menyampaikan keinginan agar sekolah-sekolah membuka pendaftaran khusus bagi penulis cilik. “Selama ini kan yang dianggap berprestasi cuma dari olahraga dan kesenian,” kata Manajer Buku Anak dan Remaja Mizan Benny Rhamdani.

Penulis Tias Tatanka, yang mengikuti konferensi, menilai acara semacam itu sangat bagus karena dapat membuka wawasan si anak. Bahwa anak-anak itu tak sendiri menjalani profesi tersebut, tapi ada banyak anak yang punya kemampuan serupa dengannya. “Di sana mereka bisa sharing soal pengalaman menulis, sehingga menjadi bahan untuk memperbaiki diri,” ujarnya.

Novelis Gol A Gong menyebutkan, booming penulis cilik antara lain dimotori oleh anak-anak para penulis terkemuka. Seperti Faiz, putra Helvy Tiana Rosa; Caca (Asma Nadia), Fira, yang merupakan putri penyair dan novelis Dianing Widya Yudhistira; serta putrinya sendiri, Bella.

Selain itu, banyak bermunculannya penulis cilik dimungkinkan berkat prakarsa anak-anak muda kreatif dan inovatif yang bersedia menerbitkan karya-karya anak. “Kalau di era saya kan penerbit cuma Gramedia. Sekarang ada Mizan, yang menjadi pelopor penerbitan buku-buku karya anak,” kata Gol A Gong.

Kenapa karya penulis anak mendapat respons cukup baik? Karena gaya bahasa dan idiom-idiom yang digunakan, kata dia, lebih “nyambung”. Berbeda dengan cerita anak yang ditulis orang dewasa. Selain gaya bahasanya cenderung ketat mengikuti kaidah tata bahasa yang baik dan benar, isinya cenderung menggurui.

Penulis novel Balada Si Roy, yang populer di ea 1980-an, itu mengaku sempat mendengar ada kritik terhadap karya-karya penulis cilik tersebut. Gaya bahasa mereka dianggap merusak kaidah tata bahasa Indonesia. Tapi dia justru menilai yang dihasilkan anak-anak itu sebagai hal lumrah akibat pengaruh bacaan dan akses terhadap informasi melalui Internet. Makanya ide ceritanya bisa lokal, tapi penggunaan nama-nama tokohnya bagi sebagian orang dianggap tak membumi. “Bagi saya, kecerdasan linguistik dan fantasi mereka itu aset luar biasa,” kata Gol A Gong.

Tias secara khusus mencermati proses kreatif para penulis cilik. Menurut dia, ada tiga tipe penulis cilik, yakni para penulis murni, yang hanya mendapat sentuhan tanda baca. Soal ide, struktur penulisan, dan gaya bahasa seutuhnya milik mereka. Penulis yang didampingi orang tua dalam proses penulisannya, lalu karya yang sudah selesai dibawa ke penerbit, dan ada penulis yang hanya punya ide cerita. “Tapi struktur cerita masih melompat-lompat, terus dibantu oleh editor di penerbit,” ujarnya.

Dianing mengaku tak pernah mengojok-ojok Fira mengikuti jejaknya. Ia juga tak terlalu “ngopeni” tulisan putri sulungnya itu sebelum dikirim ke penerbit. “Paling cuma mengoreksi penggunaan tanda baca,” ujarnya. Kegemaran Fira menulis cerita dan puisi, dia melanjutkan, sudah muncul sejak kelas III SD. Fira juga biasa mencuri-curi membaca naskah-naskah cerita pendek atau novel yang ditulis Dianing sebelum dikirim ke media massa atau penerbit. “Aku baca novel pertama bunda Sintren (2007),” ujar Fira, yang bercita-cita kuliah di Paris.

Sebaliknya, Adiyati, ibunda Qurrota Aini, mengaku turut mendampingi proses penulisan karya putri keduanya itu. Selain penggunaan tanda baca yang kurang tepat, alur cerita yang ditulis masih sering lompat-lompat. “Tapi, setelah buku ketiga, saya hanya dipercaya Aini sebagai pengirim naskah ke penerbit,” ujarnya sambil tertawa. Aini, yang pada 2004 dinobatkan Museum Rekor-Dunia Indonesia sebagai penulis antologi cerpen termuda, hingga sekarang telah menerbitkan 10 buku.

Begitupun Dewi Yas Marina, ibunda Muti, yang tidak memiliki latar belakang penulis. Ia banyak membujuk putrinya yang kutu buku dan gemar main game itu belajar menulis. Baru ketika menginjak kelas IV, pada 2008, Muti terlihat serius menulis cerita. Hasilnya, ya, Piza Pizi Veronica itu.

Kemampuan menulis Muti kemudian menular ke adiknya, Fatimah Husna, yang masih duduk di kelas V SD. Petualangan Joana, yang ditulis Fatimah, akan diterbitkan Lingkar Pena pada pertengahan Juli nanti. Sang bunda pun ikut tertular. Dewi, mantan editor buku yang kini sibuk berdagang kue brownies, ikut menyumbang tulisan dalam buku Business Moms terbitan Gramedia, Mei lalu. Buku itu berisi kiat-kiat bisnis 15 ibu rumah tangga yang menjadi pengusaha. Sudrajat | Anwar Siswadi (Bandung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih ya atas kunjungan dan komentarnya ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...